Drizzle



Bayangan itu merasuk ke dalam fikirku malam ini. Malam yang sepi juga dingin memeluk erat. Aku terjaga dimalam yang larut tanpa kehidupan. Terduduk mematung dihadapan pohon tua nan kokoh.

Dulu dua remaja memahat nama mereka, menguliti batang pohon dan melingkari nama mereka dengan lambang cinta. Remaja yang sedang memadu kasih diantara derai gerimis yang menambah suasana menjadi semakin romantis. Remaja yang berjanji akan saling mencinta hingga tutup usia.

“Ken, kau janji takan meninggalkan aku?”

“Aku sangat mencintaimu, aku takkan pernah meninggalkanmu. Percayalah pada ku El!”

“Selamanya?”

“Sampai kita menutup mata. Selamanya!”

“Kenzi dan Eliza! Selamanya!”

Kemudian mereka saling merangkul dan bercumbu dibawah gerimis yang membasahi tubuh keduanya. Begitu seterusnya, pohon tua itu seakan menjadi rumah mewah tempat mereka menyelamatkan diri dari kucuran gerimis sepulang sekolah.

“El, kelak aku akan membuat rumah pohon untuk anak-anak kita disini.”

“Sungguh Ken?”

“Ya, sungguh."

"Aku akan membiarkan mawar putih tumbuh liar di tempat ini.”

“Kelak kita akan hidup bahagia El.”

Mereka merajut mimpi untuk menyatukan cinta mereka kedalam sebuah ikatan yang suci. Sementara mereka masih duduk dibangku SMA dan empat tahun memang bukan waktu sebentar untuk mengenal satu sama lain. Hingga mereka berani mengukir mimpi-mimpi yang menjulang.

Suara klakson dan sinar lampu mobil menyadarkanku dan bayangan itu berakhir oleh panggilan pria yang menghampiriku.

“El! Aku mencarimu kemana-mana!”

“Maaf Sat. aku hanya ingin mengenang masa mudaku di tempat ini. Kau pasti khawatir.”

“Tentu, aku khawatir jika wanitaku pergi tengah malam seperti ini sendirian.”

“Meskipun seperti hutan, tapi tempat ini aman Sat! Tak perlu khawatir ada binatang buas disini.”

Satria mengecup keningku dengan lembut. Aku masih memandang pohon itu hingga mobil melaju menjauhi tempat favoritku bersama Kenzi dulu.

Kenzi apa kabar kau? Masih ingatkah padaku? Masih ingatkah pada janji dan mimpi kita? Bahkan kau meninggalkanku tanpa alasan, tanpa kata pisah dan tanpa kabar. Tak seorang pun tahu tentangmu, kemana kau pergi, untuk urusan apa. Kau jahat Kenzi! Kelak, jika kita bertemu, aku akan membalas semua sakit hatiku. Aku akan membuatmu menderita seperti apa yang kurasakan Tiga Tahun ini tanpamu.

Tiga Tahun tak cukup untuk benar-benar bisa melupakan Kenzi. Semakin aku mencoba melupakannya, semakin aku merindukan pria jangkung itu. Bahkan meninggalkan kota ini pun tak berhasil membuang nama Kenzi dari ingatanku.

*****

Mentari menyapaku di pagi ini, meskipun ia tersenyum ramah tapi Lembang tetap membeku dan membuatku enggan melepaskan cangkir teh panas dari telapak tanganku.

Lagi-lagi bayangan itu muncul. Inilah sebabnya mengapa aku meninggalkan rumahku, rumah ini dan semua tempat yang pernah kudatangi bersama Kenzi. Bayangan Kenzi menyeruak begitu saja seolah-olah aku kembali pada masa lalu.

Oh Tuhan, seharusnya aku bisa melupakan pria itu. Aku harus sadar bahwa kini aku telah menjadi milik Satria, calon suamiku.

“Aku harus ke Jakarta sekarang. Aku akan menjemputmu besok pagi.”

“Hati-hati Sat!”

“Baik-baik ya disini!”

Satria memasuki mobilnya dengan meninggalkan kecupan lembut di keningku seperti biasanya, bahkan ia tak segan melakukannya di hadapan Ibuku sekalipun.

“Syukurlah kau bisa El! Dia benar-benar calon suami yang sempurna. Bodoh sekali jika kau menyakitinya dan masih…..”

Ibu menghentikan pembicaraannya, pertanda Ia akan membahas masalah Kenzi. Selama tiga tahun ini Ibulah yang selalu mendukungku untuk melupakan Kenzi dan menyembuhkan lukaku. Ia rela berpisah dengan ku dengan mengirimku ke Jakarta.

“Masih mencintai pria tolol yang telah membuatku menderita?"

Aku tahu, Ibu akan merasa lega dan beranggapan bahwa usahanya telah membuatku berhasil melupakan dan membenci Kenzi saat mendengar kata-kata itu.

“Kau benar-benar telah melupakannya El?”

“Menurutmu untuk apa aku bersedia menikah dengan Satria Bu? Untuk apa undangan ini dicetak dan disebarkan?”

“Kau… benar-benar telah melupakannya, syukurlah.”

Nanar dimatanya menunjukan kebahagiaan yang teramat besar. Bagaimana bisa seorang Ibu merasa tenang jika anak gadisnya hampir gila karena seorang laki-laki. Maafkan aku bu, aku belum bisa melupakan Kenzi seutuhnya, dan tak sepantasnya pula aku mengataimu pria tolol Ken.

Kini Satria dan Eliza. Satu persatu undangan ini kusebarkan pada teman-temanku. Hari mulai gelap dan ditanganku tinggal satu amplop untuk Nabilah. Rasanya kesalahan besar jika aku mengundangnya, apalagi saat ini setidaknya kita harus bertatap muka dan berbincang. Hampir saja aku membalikan badanku dari depan pintu rumah Nabilah. Namun Ia sudah kadung membukakan pintu yang sama sekali tidak aku ketuk.

“Kakak? Kak Eliza? Benar kan?”

“Hai, Nabilah… aku Cuma mau kasih undangan. Datanglah ke pernikahanku!”

“Dengan siapa Kak?”

“Lihat saja di undangan. Maaf aku tak bisa lama.”

“Kakak gak mau masuk dulu? Gak mau minum teh dulu?”

“Makasih Nab, udah sore.”

“Gak mau denger kabar Kak Kenzi?”

Aku yakin anak itu akan membahas Kenzi, itu yang aku takutkan. Setidaknya Nabilah pasti tahu kabar tentang Kenzi, karena selama ini orang tua Nabilah lah yang mengurus Kenzi sedari kecil karena orang tua Kenzi sering pergi ke luar kota.

“Ku mohon jangan sebut nama Kenzi lagi!”

Aku meninggalkan rumah Nabilah dan berharap tak mendengar apa-apa tentang Kenzi. Tapi anak itu terus mengejarku dan berhasil berdiri di hadapanku.

“Kak Kenzi ada dirumahnya! Kau akan iba melihatnya! Dia sudah tak punya siapa-siapa sekarang.”

“Aku tak peduli Nab!”

“Aku hanya memberi tahu Kak El. Dia masih mencintaimu. Dia selalu mencintaimu. Dia selalu merindukanmu. Dia selalu menantimu.”

Air mata bening menetes begitu deras dari kedua mata indah milik Nabilah. Mata itu tetap bersinar dan tersenyum meski pemiliknya tengah menangis. Dan tangis Nabilah luput dalam deraian gerimis yang seolah memahami perasaan Nabilah.

“Ayah dan Ibu Kak Kenzi kecelakaan pesawat dan meninggal. Tak ada yang tahu. Dan saat Kak Kenzi menuju Rumah sakit, motornya kecelakaan dan kini kaki Kak Kenzi lumpuh total. Setahun yang lalu Kak Kenzi mendonorkan kedua matanya untukku. Kau bisa membayangkan keadaan Kak Kenzi saat ini.”

Mendengar pernyataan Nabilah akupun ikut menangis. Inikah alasan Kenzi meninggalkanku tanpa kabar, karena Ia tak sempat menemuiku bahkan memberi kabar padaku. Ia Tak pernah meninggalkanku.

Oh Tuhan, mengapa aku ahrus mendengar kabar seperti ini.

Ini benar-benar sulit, disaat aku belajar dan harus mengosongkan hatiku hanya untuk Satria, kabar tentang Kenzi seolah membuatku melupakan Satria. Dengan pernyataan Nabilah seperti itu, tak ada alasan bagiku untuk membenci Kenzi. Dia tak pernah meninggalkanku, itu yang kini ada dibenakku.

*****

Aku dan Satria berpamitan pada Ibu, Ayah dan beberapa pekerja yang tengah mempersiapkan pesta pernikahanku yang tinggal menghitung hari. Satria tampak kaku pagi ini, tak seramah dan perhatian seperti biasanya.

“Kau pasti capek bolak balik Jakarta Lembang?”

Satria hanya menggelengkan kepalanya perlahan.

“Kau Sakit Sat?”

“Enggak."

Ini bukan Satria yang kukenal, tak seperti biasanya. Ia tampak kusut namun tetap dengan pancaran aura dari dalam dirinya.

“Kau masih mencintainya El?”

“Siapa?”

“Kenzi!”

Aku benar-benar tersentak mendengarnya, bagaimana Satria mengetahui masa laluku yang tak dapat dilupakan itu.

“Tiga tahun yang lalu telah berakhir dan aku telah melupakannya berkat dirimu!”

Satria menyunggingkan senyum yang nampak dibuat-buat.

“Kau tak percaya?”

“Sekarang kita temui pria itu! Akan kupastikan bahwa dia tak lebih baik dariku!”

“Untuk apa?”

“Untuk mengakhiri perasaanmu El!”

Kenzi duduk di kursi roda bersama seorang wanita, kuyakin itu Nabilah. Ia nampak tenang dan hanyut dalam kertas Kanfasnya. Satria bergegas turun dari mobil dan menghampiri Kenzi di Gazebo yang terletak di samping rumahnya. Tempat itu penuh kenangan, kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan.

“Kau Kenzi?” tanya Satria langsung menghampiri Kenzi.

“Benar, kau siapa?”

Suara Kenzi bergetar dan menukik kedalam dinding hatiku, suara yang tak berubah, suara yang selalu kurindukan di sepanjang hariku.

“Aku Satria, calon suami Eliza. Datanglah ke pesta pernikahan kami!”

Batang Kuas yang sedari tadi menari-nari ditangannya kini terjatuh.

“Bagaimana mungkin aku bisa datang dengan kondisi seperti ini. kalian akan malu menerima tamu sepertiku. Terima kasih telah mengundangku,” seru Kenzi lara.

Aku hanya bisa diam, aku harap Kenzi tak merasakan keberadaanku ini. Aku takut membuatnya terluka dan menambah beban hidupnya lagi.

“Oke! Datanglah! Aku yakin Eliza akan senang jika kau datang! Iya kan El?”

“Sat sudah!” bentakku.

“Sampai jumpa Kenzi.”

Satria meninggalkan Kenzi dan aku menyusulnya. Tanpa sengaja, aku melihat Obyek lukisan Kenzi seorang wanita, dan itu adalah Aku. Ribuan butir air mata mendesak kedua mataku, tapi aku mencoba untuk menahannya, rasanya teramat sakit dan aku tak mungkin menangisi pria lain dihadapan Satria.


“Menangislah jika kau mau,” suara Satria begitu lembut membelaiku. Aku menghambur ke dalam pelukan Satria dan menumpahkan tangisku.

“Maafkan aku Sat! Maafkan Aku!”

“Untuk apa?”

“Untuk segalanya! Aku berusaha keras melupakannya, aku hanya ingin mencintaimu!”

“Hei, cinta itu tak bisa dipaksakan, jika kau mau, kita bisa membatalkan pernikahan kita.”

“Kenapa?”

“Aku tak ingin kau menderita hidup dengan pria yang tak kau cintai. Aku pun sama, aku tak mungkin hidup bersama seseorang yang tak mencintaiku.”

“Sat… aku sudah mencintaimu. Dan kelak mungkin aku bisa benar-benar melupakan Kenzi seutuhnya."

“Masih mungkin kan El? Hhh....aku benci sesuatu yang tak pasti.”

Ini sesuatu yang sulit, aku telah terbiasa dengan kehadiran Satria dan telah menyayanginya, meskipun tak bisa mencintainya sepenuh hati, aku tak ingin berpisah dengan Satria.

“Aku akan mengantarmu pulang El! Dan kita bisa batalkan pernikahan kita.”

“Tapi Sat?” aku melepaskan pelukan Satria dan tetap menangis.

“Aku mencintaimu El. Aku ingin kau bahagia,” Satria mengecup keningku.

“Ini yang terakhir, aku takan menyentuhmu lagi,” lanjutnya.

*****“Kenapa kalian pulang lagi?” heran Ibu yang melihat mataku sembab dan membengkak.

“Maafkan Aku Bu, Aku tak bisa menikah dengan Eliza,” papar Satria membuat seisi rumah terkejut bukan main.

“Loh, kenapa nak Satria? Ko tiba-tiba memutuskan begitu saja.”

“Aku tidak mencitai Eliza Bu, Aku tidak bisa hidup dengan wanita yang tidak ku cintai, maafkan aku Bu.”

“Tapi semuanya hampir siap nak Satria.”

“Maafkan aku Bu, maafkan Aku, Aku benar-benar tak bisa melanjutkannya.”

Satria memohon dan meninggalkan kami dengan hati yang berkecamuk.


Mungkin Ibu dan Ayah akan murka padaku, sungguh ini merupakan hal yang sangat memalukan untuk keluarga kami. Apa yang akan terjadi selanjutnya, sungguh aku hanya bisa merintih, seharusnya aku bisa melupakan Kenzi dan mencintai Satria, mungkin peristiwa ini takkan terjadi. Oh Tuhan, aku tak ingin kehilangan pria lembut seperti Satria.

“Apa Satria tahu tentang Kenzi El?” Ibu berhenti membelai rambutku.

“Tadi kami menemui Kenzi Bu, Satria yang memintaku. Hari-hari ku telah terbiasa bersama Satria, aku tak ingin kehilangan Satria Bu. Sungguh ini sangat menyakitkan, Aku sayang pada Satria Bu, Aku tak mau berpisah dengannya.”

“Sebenarnya kau mampu melupakan Kenzi. Kau bisa jika bersungguh-sungguh.”

“Aku lebih takut kehilangan Satria Bu.”

Aku tak mampu menghentikan tangisku, hingga tak sadarkan diri dan dilarikan ke Rumah Sakit. Aku benar-benar tak sadar dan tak bisa merasakan apa-apa. Sekujur badanku lemas dan terasa beku, saat ku membuka mata, Satria tengah tertidur disampingku. Ia tampak begitu lelah, bodoh sekali jika aku tak bisa mencintainya. Benar yang dikatakan Ibu, Satria begitu sempurna dan bahkan terlalu sempurna untuk wanita sepertiku.

“Kau telah sadar El!” Satria terbangun dan menggenggam jemariku.

“Sat, aku tak ingin kehilanganmu! Aku tak ingin berpisah denganmu! Kumohon jangan pergi.”

“Kau tak ingin kehilangan aku El?”

“Ya, Kau akan sangat jahat jika meninggalkan aku! Ini akan sangat menyakitkan dibanding Kenzi yang dulu meninggalkan aku!”

“Tapi kau masih mencintai Kenzi El!”

“Aku sudah meninggalkanmu sejak dulu jika aku masih menginginkan Kenzi.”

“Tapi kau tidak mencintaiku El!”

“Untuk apa aku melangkah sejauh ini jika aku tak mencintaimu? Bahkan aku tak mengerti dengan perasaan yang kumiliki saat ini. Aku telah terbiasa dengan mu, aku tak sangggup jika harus berpisah denganmu Sat.”

“El, jika itu maumu. Aku tak akan meninggalkanmu, aku tak ingin menyakitimu.”

“Aku mencintaimu Sat!” kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutku bersamaan dengan derai air mata yang membanjiri pipiku, begitu halus namun menggetarkan hati dan jiwaku, inikah Cinta?


*****Dan janji suci pun keluar dari mulut Satria disaksikan oleh para tamu undangan. Janji suci yang mengikat kita dalam hubungan yang halal yang akan kita pegang teguh hingga akhir hayat.

“Ini pernikahan pertama dan terakhir kita.”

“Selamanya Sat!”

“Selamanya, berjanjilah untuk tidak menghianati Janji ini El.”

“Aku berjanji!”

Kini Satria dan Eliza, Janji terakhirku dan Janji pertama Satria.

Kenzi datang mngucapkan selamat padaku dan Satria dengan serpihan-serpihan janji yang tak sempat ditepati.

Satria, Ibu dan Ayah memandangku. Aku membalas jabatan tangan Kenzi yang diarahkan oleh Nabilah tanpa berucap satu katapun.

Kau akan mendapat wanita yang lebih baik dari ku Ken, percayalah, sampai kapanpun aku mungkin takan bisa melupakanmu sepenuhnya, kisah kita akan kusimpan baik-baik di relung hati ini, batinku.

Tanpa kusadari gerimis turun dari kedua mata Kenzi juga dari langit yang awannya memudar dan kelam.

End







Komentar

Postingan Populer