Aku, Puisiku dan Denny Sumargo



Sekitar Tiga tahun yang lalu ujung mataku menangkap sebuah buku biografi dengan sampul warna hitam, dengan potret pria tengah terduduk mengenakan baju basket. Tatapan matanya begitu tajam, seakan menerawang jauh dan tak berhujung. Aku mengenalnya sebagai pebasket baru-baru itu, aku melihatnya di Televisi ketika Ia tengah membela Timnya. 


DENNY SUMARGO
SEBUAH CATATAN PERJALANAN PEBASKET NASIONAL
Oleh: AGNES DAVONAR

Biografi itu tertata apik di sebuah rak di Gramedia saat aku mengintari sepenjuru Gramedia untuk melihat-lihat. Ya, hanya melihat-lihat, siapa tahu ada buku yang sudah terbuka hingga aku bisa membacanya dengan gratis. Itulah kebiasaanku saat menjadi Mahasiswi, berlama-lama di Gramedia padahal hanya membeli Tabloid yang harganya tak lebih dari sepuluh ribu.

Aku mengenal pria yang ada di sampul buku itu. Cowok keren, benakku. Dan ia satu-satunya Pebasket Indonesia yang aku ketahui namanya. Beruntung ada satu buku yang telah terbuka, hingga aku leluasa membacanya sembari berdiri menahan semut-semut di kakiku. Aku semakin mengenalnya ketika membaca bagian pertama dari buku itu, terharu dan tak dapat membendung ribuan butir air mata yang mendesak ujung mataku.

“Pulang yuk!” tiba-tiba kedua sahabatku menghampiriku yang sedang megap-megap.
“Oh, udah sore,” kataku sembari melihat Jam digital di ponselku.
“Bentar. Bentar. siapa nih?” salah satu sahabatku menarik buku yang tengah aku pegang.
“Itu loh Denny Sumargo! Pebasket itu, keren loh! Sumpah! Bla…bla…bla….” sahabatku hanya manggut-manggut saja saat aku mengoceh tentang Denny Sumargo.

Buku itu ku simpan kembali di rak bersama dengan teman-temannya yang masih terbungkus plastik, ku selipkan buku itu paling ujung karena takut pada kunjungan berikutnya aku tak menemukan buku yang sudah terbuka itu. Sementara aku belum selesai membacanya.

Hingga berkali-kali aku mengunjungi Gramedia, tanpa diperintah langkahku langsung memacu pada sebuah buku biografi pebasket nasional itu. Aku tak peduli dengan lalu lalang orang yang melewatiku, menyenggolku atau mencibirku tak mampu membeli buku itu. Aku hanya akan pulang sampai mataku berair karena perih dan sudah tak sanggup menahan ribuan semut yang menggigit kakiku. Ya, karena terlalu lama berdiri, akhirnya kakiku kesemutan dan aku meninggalkan Gramedia dengan langkah yang sedikit digusur dan terseok-seok.

Aku selalu bersemangat saat menceritakan ulang isi buku itu pada Dhena sahabatku. Seolah-olah aku telah kenal dekat dengan Denny Sumargo, padahal bukunya saja belum selesai dibaca.

“Kenapa gak beli aja Fih?” tanya Dhena.
“Gak punya duit Dhe, hehe,” jawabku.

Aku sangat mengagumi sosok Denny Sumargo, aku menyukai perjalanan hidupnya, semangatnya dan perjuangannya. Kala itu aku memang tak sempat membaca biografinya hingga selesai, tapi aku tak lantas berhenti mencari informasi tentangnya. Hingga aku menyimpan potretnya yang kudapat dari internet di ponselku, dan saat siapa saja menanyakan foto itu, aku selalu menjawab “Denny Sumargo, dia tuh pemain basket, ngebela tim garuda bandung loh, perjalanan hidupnya keren, bla…bla…bla…” dan setiap orang yang mendengar ceritaku hanya bisa mengatakan “O” Pertanda bahwa mereka tidak mengenal Denny Sumargo.

Sahabatku Dhena selalu nyengir jika aku menceritakan Denny Sumargo, dia tak pernah bosan mendengar ocehanku memuji idolaku itu. Terkadang saat kami tengah bercanda, Aku iseng mengganti namaku dari Efih Sudini Afrilya menjadi Efih Sumargo Afrilya. Melafalkannya dengan penuh penekanan, hingga mereka mengejek dan memanggilku Efih Suendang. Suendang adalah nama salah satu pegawai di kampusku yang menurut kami nama itu unik dan sedikit aneh, hehe. Dan aku akan berteriak sambil melotot menyangkalnya “Efih Sumargo!!!!”

Semua orang tahu aku sangat mengidolakan Denny Sumargo, meskipun mereka heran dan bertanya-tanya “Denny Sumargo tuh yang mana?” atau “Artis bukan?” atau “Yang mana sih? Baru denger!” atau “Gak cakep ah!” lalu aku menunjukan ponselku dan berkata “Dia Atlet basket, bukan artis, makanya gak terkenal, aku salut dengan  perjalanan hidupnya bukan cakep enggaknya. Lagian dia keren ko!”
*****
Agustus 2012
Kini umurku menginjak 22 Tahun, cita-citaku untuk bekerja di Rumah sakit telah tercapai. Aku berhasil meraih mimpiku setelah melewati masa-masa kuliah yang meletihkan. Berdiri gelantungan di metromini yang sesak dan terkadang menyaksikan copet yang sedang beraksi, terguyur air hujan, menjadi penghuni sudut halte di malam hari. Semua selalu kubandingkan dengan perjalanan hidup Denny Sumargo, belum ada apa-apanya. Namun, semangatnya selalu kutanamkan dalam langkahku. Aku harus bersungguh-sungguh dan yakin agar sukses, akan kubuktikan pada dunia bahwa aku bisa meraih mimpiku dan menjadi orang sukses.

Suatu hari, aku mendengar kabar yang sangat mengejutkan dari sahabatku Dhena. Diam-diam Dhena ikut mengagumi Denny Sumargo, entah virus apa yang menyerang isi kepalanya hingga ia terkesan berlebihan mengagumi idolaku itu. Padahal dulu sewaktu aku menceritakan Denny Sumargo padanya, dia hanya mengulum senyum menampakkan wajah kurang berminatnya. 

Akhirnya, kami saling tukar informasi tentang Denny Sumargo. Yang paling mencengangkan adalah keinginan Dhena untuk memiliki buku biografi Denny Sumargo, sementara stok diseluruh Gramedia di Bandung telah kosong, begitu juga di kota-kota lain.

“Sumpah Fih, belum pernah aku kaya gini, bela-belain nginterin Bandung Cuma buat nyari Biografi Denny Sumargo," curhat Dhena lewat Telpon.
“Hihi, padahal aku yang ngefans dari dulu gak segitunya deh, lebay!” cibirku.
“Awas loh. Ntar aku punya buku plus tanda tangan dan cap bibirnya!” teriak Dhena memekakkan telingaku.
“Hehe, beli dua ke! Aku nitip kalo dapet bukunya!” pintaku memelas.
“Ciee.. yang sekarang udah punya duit……” goda Dhena yang diikuti tawa renyah kami.

September 2012
Hari-hariku dan Dhena dihiasi oleh nama Denny Sumargo. Entah itu lewat pesan singkat atau komentar di facebook dan twitter. Hingga akhirnya aku mendapati kabar gembira, bahwa Dhena mendapatkan buku tersebut secara online dari penulisnya.

“Akhirnyaaa…..” seru kami berbarengan
“Wah Ko Denny mesti tahu perjuangan kamu buat dapetin buku ini Dhe,” hiburku.

Akhirnya aku dapat memiliki biografi Denny Sumargo secara gratis dari sahabatku Dhena dan itu merupakan hadiah terindah darinya. Entahlah atas dasar apa Dhena memberikan buku itu secara cuma-cuma padaku, mengingat untuk mendapatkannya saja sudah sulit. “Makasih udah ngenalin aku sama Denny Sumargo” serunya saat mengalihkan buku tersebut ke tanganku.

Well, aku bahagia memiliki sahabat seperti Dhena. Kini biografi Denny sumargo menjadi salah satu penghuni lemariku. Nanar mataku ketika menyentuh buku tersebut, tubuhku seperti tersedot oleh arus waktu dengan kecepatan kilat. Mengenang saat Aku berdiri kesemutan diantara deretan rak yang memenuhi Gramedia Bandung Super Mall, bolak-balik ke tempat itu hanya untuk membaca biografi Denny Sumargo secara gratis. Wajahku meranum, untung nasibku tak seburuk Denny Sumargo, di Gramedia tak ada yang melarangku untuk sekedar membaca.

14 November 2012
Jadi nginep ga?
Pesan singkat dari Dhena mengawali pagiku yang cerah. Bagaimana tidak, besok tanggal 15 November akan ada roadshow film yang dibintangi oleh Denny Sumargo di Bandung dan itu merupakan film perdananya. Aku tak mungkin melewatkan kesempatan untuk bertemu Denny Sumargo. Apalagi tanggal 15 adalah tanggal merah di kalender yang artinya aku libur dari pekerjaanku.

Tepat pukul 16.00 WIB aku beranjak dari mejaku, meninggalkan ruang kerjaku dan semua benda yang ada di dalamnya. Mereka menjadi saksi bisu kegugupanku, memperhatikanku yang sedari pagi tak konsentrasi bekerja. Aku melewati lorong-lorong sunyi yang seperti tak berpenghuni, kesempatan baik yang kumanfaatkan untuk menebar senyum pada diriku sendiri. Aku akan bertemu Denny Sumargo, batinku. Bahkan Keluarga dan teman-teman di rumah sakit tempat aku bekerja  sudah tahu jadwalku besok, hihi.

Perasaan cemas dan gugup setia menemaniku saat berdiri menanti Bis menuju Bandung, bahkan waktu 10 Menit pun terasa seperti 10 Tahun. Akhirnya Bis yang kutunggu-tunggu datang, ini kali pertama aku naik Bis dengan jurusan Bekasi-Bandung, sedikit was-was dan takut tersesat. Cumulonimbus sedari siang memayungi kota Purwakarta, lecutan-lecutan perak pun begitu jelas seakan hendak menyambar Bis yang kutumpangi. Aku menikmati keindahan Tol Cipularang yang membuat mataku terbelalak.

Disini ujan Fih, kayanya ga bs jemput.
Pesan dari Dhena membuatku gugup, bagaimana ini, sekalipun aku belum pernah menyambangi rumah kost Dhena, jalannya saja aku tak paham. Mau tak mau aku harus bergegas turun dari Bis, kala itu langit begitu hitam, meski rintik tak turun, namun angin yang menghembus begitu kencang menggoyangkan pohon-pohon kokoh sekali pun, menambah suasana semakin seram. Sebentar lagi senja usai, aku seorang diri menerawang jalan mana yang harus ku lewati, tapatnya angkot mana yang hendak membawaku menuju rumah kost Dhena, hehe.

Dan akhirnya, Dhena berkenan menjemputku. Memang Tuhan selalu menyayangiku, ia selalu memberiku kemudahan. Kami benar-benar tak bisa tidur malam itu, padahal berbagai topik telah kami bahas.

“Yakin ga bakal kasih hadiah Dhe? Kan biar di inget sama do'i?” tanyaku.
“Entar kalo ga ketemu gimana? Sayang kan udah beli tapi ga bisa dikasih," papar Dhena membuatku pesimis takkan bertemu Denny Sumargo.
“Padahal aku udah bikin surat buat dia Dhe.”
“Mana? Liat dong!” rengeknya
“Jangan!” kataku sedikit gusar dan menahan malu.
“Ayolah..” Dhena memaksaku, dan aku paling tidak bisa menolak, akhirnya aku merogoh tasku dan kuberikan lipatan kertas loosleaf yang bahkan tidak di bungkus atau diberi amplop sekali pun.
“Jangan ketawa, aku sadar itu agak lebay,” tegasku.

Dhena membacanya perlahan dan tawanya yang renyah menggaung di kesunyian malam. Sudah kuduga. Aku benar-benar tak bisa membuat puisi, alhasil tempat sampah di rumah kostku malam kemarin diluberi oleh lautan kertas, aku lebih memilih menulisnya secara manual karena aku ingin memberikan sesuatu yang dibuat oleh tanganku sendiri. Aku sedikit tercekat, karena berjam-jam konsentrasi hasilnya segitu-segitu saja, akhirnya karya pertamaku selesai, dengan mengusung tema mengagumi, ya seperti itulah hasilnya, terkesan lebay.

“Lebay!!” pekik Dhena. Dan kami pun menertawakan puisiku. “Efiiiihhhhh…..” lanjut Dhena.
“Apa?” sahutku.
“Besok gimana?”
“Ga tau. Bisa ketemu ga ya?”
“Pokoknya pantang pulang sebelum bisa Foto Bareng.” semangat Dhena menggebu.

15 November 2012
Kami bersiap-siap pergi ke tempat dimana acara Roadshow berlangsung. Pukul 10 kurang kami sudah sampai di Cihampelas Walk, padahal acaranya pukul 1 siang. Batinku bergema saat melihat tempat yang sudah disiapkan oleh panitia. 

“Mas, ini buat Roadshow 5cm kan?” kataku menghampiri kerumunan panitia.
“Iya," kata salah seorang panitia
“Kursi ini buat umum kan Mas?” Aku menunjuk kursi yang berjajar di depan stage.
“Iya, bisa.”
“Acaranya jam berapa?” tanyaku lagi sedikit kepo.
“Jam 1."

Aku dan Dhena membedah CiWalk dengan perasaan tak tenang dan takut ada orang yang lebih dulu duduk di kursi paling depan. Kemanapun aku melangkah, fikiranku telah menempel pada kursi itu. Sungguh, waktu terasa begitu lama, hingga langit mendung dan tetesan bening turun menerpa hidungku.

“Pak, kita boleh duduk di kursi ini sekarang?” tanyaku kembali menghampiri salah seorang panitia yang sudah cukup umur.
“Masih jam 11, cuma berdua kan? Memang gak malu? Nanti aja jam 12an," seru Bapak itu membuatku patah harapan.
“Kita berempat Pak. Ayolah…” pintaku memelas. Karena memang saat itu aku mengajak dua orang perempuan yang baru saja kutemui. Mungkin kalo berempat tidak akan terlalu malu, benakku.
“Okelah, boleh," Bapak itu mengamini permohonanku. 

Dan akhirnya Aku dan Dhena bisa duduk di kursi paling depan. Legaaa….. gumamku. Orang pun berduyun-duyun mengikuti jejak kami dan mulai memenuhi kursi yang telah disediakan oleh panitia. Aku dan Dhena tersenyum puas.

Tepat jam 1 siang, Band pengiring pun mulai membuka acara dengan dendangan-dendangan yang memanjakan telingaku. Sempat terhibur, namun tetap saja hatiku gundah karena orang yang ku tunggu-tunggu belum datang juga. Setelah beberapa lama aku berdecak tak puas, Denny Sumargo datang dengan mengucapkan salam. Sungguh, rasanya seperti mimpi, aku bisa melihat langsung Denny Sumargo. Seseorang yang kukagumi, yang selalu kugembar-gemborkan perjalanan hidupnya, ia kini berada di hadapanku. Dia sangat manis dan tingkah konyolnya mampu menguras perutku kala itu.

Aku menggenggam erat buku Biografinya, mengacungkannya sewaktu Denny Sumargo melihat ke arahku begitu juga dengan Dhena. Aku bersikukuh, biografi ini harus ada tanda tangan Denny Sumargonya. Saat itu hujan besar mengguyur kota Bandung, aku yang tadinya duduk di kursi, meloncat berpindah tempat, tepat di depan stage. Kala itu aku dan penonton yang lain sudah seperti ikan yang bergerombol hendak diberi makan. Aku dan Dhena berulang kali mengacungkan Biografi yang kami pegang, hingga akhirnya Denny Sumargo memberi isyarat menyuruh kami untuk menyimpan buku tersebut di atas stage di bawah kakinya. Akhirnya aku mendapatkan tanda tangan Denny Sumargo.

Saat orang-orang beruntung mendapatkan kesempatan untuk bertanya langsung kepada para artis. Aku kebingungan, ingin bertanya tapi sama sekali tak punya pertanyaan. Padahal aku sempat berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku harus bisa membuat Denny Sumargo mengingatku, minimal Dia  mengingat namaku. Aku teringat pada puisi yang kubuat untuknya, berkali-kali kertas loosleaf itu keluar masuk tasku, ini ide konyol jika Aku harus membacakannya di depan umum.

Batinku bergulat, ini benar-benar freak. Akhirnya aku bertekad dan berani untuk membacakannya. Aku melihat sorot-sorot mata para artis, berharap ada yang melihatku mengacung-ngacungkan kertas kumel itu. Berkali-kali, tak ada yang menggubrisku. Hingga akhirnya, seseorang yang dipanggil Bunda Dewi melihatku, dan ia memberi kesempatan padaku untuk membacakan puisiku di atas stage. Aku berdiri disamping Denny Sumargo yang tengah duduk. Itu adalah hal yang sangat mendebarkan, sungguh, seluruh badanku bergetar dan aku tak mampu mengendalikannya. Aku sempat melihat sorot tajam itu, Ia menatapku. Membuatku semakin berada di ambang ketidak sadaran. Perlahan-lahan aku membaca tulisanku dengan penuh penekanan, namun kertas yang ku pegang berguncang karena aku sangat gemetaran saat itu.

Aku bukan seorang pujangga, bukan pula seorang penyair. Tapi untuk Denny sumargo, aku berusaha untuk merangkai kata-kata menjadi bait indah. Aku berhasil, aku takjub pada diriku sendiri. Dan kertas kumel itu berpindah tangan, kepada pemiliknya. Aku melihat mata Denny Sumargo memerah, tapi aku tak mampu menatapnya lekat-lekat. Ia mendekapku, dan ribuan kupu-kupu mengepakkan sayapnya diperutku, aku benar-benar bahagia. Bukan hanya mendapatkan tanda tangan saja, aku mendapatkan pelukan darinya.
Tuhan benar-benar baik padaku, hari itu aku mendapatkan banyak keberuntungan. Saat acara selesai, Aku melepaskan Denny sumargo dengan lega setelah Dhena sahabatku berhasil mengabadikan potret dirinya dengan Denny Sumargo. Apa yang kuinginkan selama ini terwujud, Tuhan menjawab do’aku di hari itu.

Kebahagiaanku ditutup dengan twett Denny Sumargo:

Before sleep, baca tulisan dr Efih Sundini yg dia kasi di #5cmthemovieroadshow sore td di ciwalk, inspiring:’)

Aku bahagia, meskipun penulisan namaku salah. Tapi aku tahu, itu ditujukan untukku. Terima kasih Denny Sumargo, dan keinginanku sekarang adalah bisa sukses sepertimu. Aku akan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan apapun yang ku mau. Semoga itu bukan pertemuan terakhir kita.

Kisah ini berakhir dengan bahagia berkatmu Denny Sumargo dan berkat keberuntungan yang diberikan Tuhan padaku pula. Ini cerpen nonfiksiku yang pertama dan happy ending. Sekaligus memenuhi permintaan sahabat-sahabat ku yang setia menanti karya-karyaku. Semoga tak ada yang meneteskan air mata lagi setelah membaca karyaku yang satu ini. hehe.

Komentar

  1. hai salam kenal :)
    aku suka sama gaya penulisan yang begitu jujur dan apa adanya

    aku juga fans denny sumargo, 2010 sempat nonton dia (masi di Garuda) tanding lawan aspac di GOR Sritex Solo. aku jauh2 belain dari jogja cuma buat nonton Garuda main. tapi sayang aku belum beruntung untuk bertemu secara langsung.

    selamat yaaa mimpi kmu ktmu idola akhirnya terwujud...

    kalo kmu gak keberatan, baca blogku juga yaa.
    makasih :).

    BalasHapus
  2. slam knal jg, apa blog mu?
    heuummp.... smoga bisa ketemu koko dendeng susu yaa..... hehe

    BalasHapus
  3. http://geelottus.blogspot.com/ itu link blog ku., selamat berkunjung., makasih juga udah nyempatin baca :)

    iyaa makasih yaa., semoga suatu saat nanti bisa ketemu :D

    BalasHapus
  4. weh da yg bru ne dari karakter cerpenmu , salam knal y , ^_^

    BalasHapus
  5. aku yg sbenernya ya kya gitu...hehe (real story)

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer