Valentine Ke Tujuh

Kau telah berhasil mengunci rapat hatiku, tak membiarkanku mencintai pria manapun selain kau. Kau jahat! Selama hampir 7 tahun ini kau menyiksa hatiku, dan sialnya kau tak pernah tau.
Aku termangu menatap layar ponsel yang tergeletak di sampingku. Mencoba mencerna kembali kata-kata yang disampaikan Vina lewat pesan singkatnya yang ia kirim sore tadi.
Elizaaaa……Farel ada di Bandung!
Aku membacanya berulang-ulang dan bahkan belum sempat membalas sms Vina. Fikiranku melayang, mengingat kejadian 7 tahun lalu.
Hari Valentine yang dikatakan orang sebagai hari kasih sayang, aku mempercayainya hingga sekarang. –Valentine dan cokelat– ya, dihari itu seseorang akan memberi cokelat pada orang yang dikasihinya.

*****
Tujuh tahun silam, tepatnya 14 februari 2007. Aku memberikan sebatang cokelat dan sepucuk surat tanpa nama pada seseorang yang ku taksir. Farel namanya, dia kakak kelasku saat aku kelas 2 SMA. Dia atlit basket di sekolahku, tubuhnya tinggi kurus, berkulit putih, memiliki lesung pipi dan sangat mempesona. Tak heran jika banyak siswi cantik menggandrungi sosoknya. Namun kepribadiannya yang pemalu dan dingin tetap terlihat santai menanggapi semua itu.
Farel sangat setia pada kekasihnya, ya, aku tahu betul perihal itu, ia dan kekasihnya –mereka– satu kelas. Aku menitipkan cokelat dan surat itu pada Vina temanku yang kebetulan rumahnya satu komplek dengan Farel.
“Gimana reaksinya?” tanyaku pada Vina keesokan harinya
“Dia bengong, terus nanya dari siapa.”
“Tapi gak bilang dari aku kan?”
“Enggak lah! Eh, tapi dia bilang makasih,” kata Vina. Genderang di hatiku bertalu begitu kencang. Baru pertama kali aku menyatakan perasaan cintaku pada pria. Meskipun surat itu tanpa nama dan Farel takkan tau cokelat itu dari siapa, kecuali jika Vina membocorkannya.
Beberapa bulan kemudian Vina membawa kabar yang membuat jantungku berdetak tak karuan.
“Kayanya dia udah tau deh!” kata Vina.
“Maksudnya?” tanyaku. Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi padaku akhir-akhir ini. “Farel?” tebakku.
“Dia udah tau deh! Tulisan kamu, dia cari tau kamu lewat tulisan di surat itu!” kata Vina
Oh, bodoh, minggu lalu aku membuat puisi dengan tulisan tangan dan menempelkannya di mading sekolah. Aku berlari menuju mading sekolah untuk memastikan bahwa aku tidak mencantumkan namaku. Eliza Dara. Ah, sial. Jelas-jelas namaku terpampang disudut kanan bawah kertas.
Malamnya ponselku bergetar, ada pesan masuk dari sederet nomor asing.
:Hey Tulisnya. Tanpa fikir panjang aku mereply pesan itu: Siapa? Tulisku. Beberapa lama kemudian ada balasan dari nomor yang sama: Farel Tulisnya. Aku tercekat, beberapa kali aku mempertajam penglihatanku. Mataku melotot seolah hendak copot dari kelopaknya. Belum sempat aku membalasnya. Ponselku bergetar lagi :Makasih buat cokelatnya. Tulisan teakhir itu membuat seluruh badanku bergetar, kini perutku ikut-ikutan sakit saking bahagianya.

******
Aku mengambil ponselku yang sedari tadi tergeletak. Memilih menu Aplikasi dan membuka akun facebookku. Ya, terkadang teman di dunia maya lebih peduli padaku.
Haruskah aku mengingatmu kembali. Yang telah lama pergi membawa cintaku. Bertahun-tahun ini sepi, hampa dan aku telah kehilangan rasa cinta. Kau hadir, membawa serpihan luka lama. Oh, aku ingin melupakanmu. Tapi sulit.
Tak lama kemudian sebuah komentar dari Vina singgah di statusku yang baru saja di update.
Dia di Bandung, kuliah di Bandung, nanti aku salamin ya El
Tidak bisa kupungkiri, aku masih mengharapkannya. Aku masih mencintainya. Selama hampir 7 tahun aku menyimpan dan menyembunyikan perasaan ini.
Disaat orang lain begitu mudahnya berganti-ganti kekasih. Aku tetap setia pada ketidakpastian ini. aku semakin menikmati kesendirianku dan membuka hati merupakan hal tersulit dalam hidupku. Kondisi seperti ini yang membangun karakterku sebagai seorang penyendiri.

*****

Sejak malam disaat Farel mengirim pesan padaku. Kami menjadi lebih akrab, menjalin komunikasi lewat sms –meski tak bertemu langsung–. Semuanya berlangsung hingga kelulusan Farel tiba.
“Selamat Ka!” kataku
“Makasih ya."
“Meskipun Kaka ga sekolah disini lagi, aku bakal tetep sayang sama Kaka,”
“Aku juga sayang sama kamu," kata Farel. “Seperti sayang sama ade sendiri,” lanjutnya.
Glek. Selama ini Farel hanya menganggapku adik. Bahkan dia tidak melihat betapa besarnya cinta yang tersembunyi di balik hatiku.
Aku tak melihatnya lagi di sekolah, tak menyaksikan aksinya mendrible bola, tak ada senyum tipisnya. Benar-benar tak ada Farel dihidupku. Bahkan aku tak bisa menghubunginya lagi.
Apa masih ada setitik ruang dihatimu untukku. Untukku singgah. Melabuhkan rindu yang tak sempat tersampaikan. Rindu yang tak berhujung untukmu.
***
Farel:  0813111xxxxx
Pesan terakhir dari Vina semakin membuatku tak bisa tidur. Padahal aku tak punya riwayat Insomnia dan dua bulan terakhir ini telah berhenti menjadi pecandu kopi.
23:45 WIB
Aku merogoh ponselku dan mencoba menghubungi nomor pemberian Vina. Nut nut nuuut. Nada sambung itu membuatku gemetar dan nyaris hilang kesadaran.
“Halo..." suara dari seberang sana terdengar merdu dan lembut “Siapa?”
“El. Aku Eliza Dara. Seseorang yang terlupakan, mungkin.”
“Eliza? Eliza Dara?” Farel mengulang-ulang namaku dan terdiam sejenak “Eliza Dara? Cokelat kan? Hey! Apa kabar?” tanya Farel antusias.
Rinduku tumpah, tumpah padamu. Kau masih sedatar dahulu mengartikan kegugupanku. Kau tak pernah pahami isyarat ini.
00:30 WIB
Kami masih ngobrol lewat telepon. Banyak hal yang ingin ku sampaikan, tapi terhenti di kerongkongan. Kami hanya membahas masa lalu kami dan masa sekarang. Tak ada sedikit pun kata rindu yang terucap dari bibirku. Aku tetap memendamnya, malam ini aku hanya ingin mendengar suaranya.
“Hey. Ko diem? Jangan-jangan kamu tidur El?” tanya Farel.
“Ah, sedikit ngantuk aja ka,” jawabku.
“Tidur gih! Udah malem.”
“Ok, aku pamit ya Ka. Salam buat pacar kamu,” kataku dengan hati-hati.
“Pacar? Aku ga punya pacar El. Mau Fokus sama kuliah dulu.”
Mendengar pernyataan itu. Darahku berdesir lebih cepat. Dia sendiri, tak memiliki kekasih. Malam ini kebahagiaan menghantarku pada mimpi indah. 
*****
14 Februari 2014
Hari valentine tiba, ini valentine ke tujuh Farel mengenalku. Selama tujuh momen ini, aku memberi cokelat dan menulis surat untuk Farel. Hanya cokelat dan surat pertama yang sampai ke tangan Farel. Selebihnya tidak sama sekali.
Aku berjanji akan merubah nasib setelah valentine ke tujuh ini. Ini yang terakhir aku mengirimkan cokelat dan surat untuk Farel. Setelah ini aku akan membuang jauh-jauh nama Farel dari ingatanku.
“Halo, El. Kamu disebelah mana?” tanya Farel disambungan telepon.
“Aku duduk pake baju merah dekat air mancur,” jelasku.
Tak lama kemudian, seorang pria tinggi, putih dan tampan menghampiriku. Sekejap jantungku berhenti berdegup. Aku tak bisa bernafas. Sungguh, ia masih mempesona seperti dahulu. Bahkan lebih. Inikah pria yang selalu kurindukan,  pria yang tak membiarkanku berpaling darinya.
“El ko bengong?” tanya Farel mengaburkan lamunanku.
“E, eh, Farel?” kataku kikuk.
“Hai, udah lama?”
“Lumayan.”
“Nih!” Farel memberiku sebatang cokelat yang terbungkus kertas merah muda dan dipercantik dengan pita merah.”Ini buat kamu El! Makasih buat cokelat yang waktu itu,” lanjutnya.
“Oh, ga perlu repot-repot kali Ka.”
“Ga apa-apa. El, aku ga bisa lama. Harus balik ke kampus lagi.”
“Ya udah. Makasih udah mau nemuin aku. Makasih juga cokelatnya.”
“Ok. Kamu cantik El! Lebih dewasa dan…..”
“Dan apa?” potongku.
“Manis,” kata Farel mengakhiri pertemuan kita.
Ia melihatku dengan pandangan yang tak biasa. Memang, semenjak aku tumbuh dewasa dan saat lemak bayi di tubuhku perlahan hilang, banyak pria dewasa memandangiku aneh. Dan aku akan segera menjauh dari pandangan mereka.
Dia memberiku cokelat di valentine ke tujuh. Mengapa baru sekarang? Disaat aku berniat melupakannya. Aku memasukkan cokelat pemberian Farel ke dalam tasku dan merogoh cokelat dan surat yang seharusnya kuberikan pada Farel.
Seperti biasa, seperti valentine-valentine sebelumnya. Aku menaruh cokelat dan surat itu sembarangan di bangku taman Alun-alun kota. Aku menghabiskan hari valentine dengan berdiam diri di taman kota. Tempat yang ramai, sangat ramai dengan hiruk pikuk manusia yang takkan mempedulikan aku yang tengah sendiri dan kesepian.
“Sekarang valentine ke tujuhmu bukan?” seorang pria tiba-tiba duduk di sampingku tanpa permisi.
“Dari mana kamu tau?” tanyaku.
“Mungkin ini yang ke empat kalinya aku menemukan cokelat dan surat cinta tergeletak begitu saja di sini,” kata pria itu “Aku menyimpan surat-suratmu dan cokelatnya habis ku makan. Aku Braga. Kamu pasti Eliza Dara?” lanjutnya.
“Ya,” Kataku datar. “Selama ini kamu yang nemuin cokelatku?”
“Yup dan selama itu aku ga berhenti memikirkan kamu. Aku mencintaimu lewat surat dan puisi mu. Mungkin ini aneh, ya. Menurutku ini sangat aneh."
“Mencintaiku? Bahkan kita ga pernah ketemu sebelumnya!”
“Justru itu, ini sangat aneh. Aku ga berhenti mikirin cewek iseng yang tiap valentine naruh cokelat dan surat cinta di sini!”
“Iseng katamu?”
“Apalagi? Mau aku sebut gila? Kamu terlalu cantik buat jadi orang gila!”
“Orang gila? Makin ngaco kamu!” Aku pergi meninggalkan pria itu.
“Hey! Aku suka kamu! Aku akan bantu kamu lupain cowok itu!” Teriaknya membuat orang-orang di sekitar Alun-alun menoleh padaku. Kini kami menjadi pusat perhatian ketika Pria itu nekat menaiki bundaran air mancur yang terletak di pusat taman.
“Aku suka kamu Eliza Dara!” teriaknya lebih keras.
Aku memendam malu sekaligus mengulum senyum melihat aksi nekat cowok itu. Kini aku tersenyum, setelah sekian lama menjalani hidup hambar. Braga namanya. Pria yang selalu memikirkan aku meski tak pernah tau siapa dan bagaimana aku.
Valentine Ke Tujuh…
Ini valentine ke tujuh. Tak bisakah kau mencintaiku hari ini? Jika bukan hari ini. Aku terpaksa melupakanmu.
Ini valentine ke tujuh. Tak bisakah kau akhiri rinduku hari ini? Jika bukan hari ini. Aku terpaksa takkan merindukanmu lagi.
Ini valentine ke tujuh. Aku berhenti disini. Takkan ada valentine berikutnya untukmu.
End

Komentar

Postingan Populer