Kembang Gula Alya

Kabut dingin perlahan menelusup melalui celah jendela yang sengaja tidak ditutup. Meski tidak terbuka lebar, namun dingin yang menyergap mampu mengusik dan membangunkanku.
Aku, Yasmin Fidelya anak sulung dari dua bersaudara. Mamaku Fidelya Dewi meninggal akibat perdarahan post partum setelah melahirkan adikku, Alya Fidelya. Jika saat itu aku bisa memilih dan meminta pada Tuhan, aku ingin mama tetap hidup dan membesarkan aku hingga
saat ini. Namun Tuhan berkehendak lain, mamaku meninggal dan aku memiliki adik bernama Alya dengan segala kekurangannya.
Pintu kamar berderit ketika aku berusaha menangkap kabut yang menebal di luar jendela. Selalu seperti itu suasana sore di tempat kediamanku di Lembang Bandung. Aku merasa lebih tenang tinggal di kawasan ini. Lima tahun sudah aku meninggalkan penatnya Jakarta, Papa dan Alya adikku.
Wanita tua yang sedikit cerewet, judes, namun sangat kusayangi itu menghampiriku yang tengah bersidekap di ambang jendela yang kini telah terkuak lebar. Ia memandangiku sinis dan kali ini ia nampak sangat serius.
"Sampai kapan kamu mau seperti ini Yas?" Tanya Nenek memulai percakapan.
"Seperti ini gimana Nek?"
"Apa kamu gak kangen sama rumahmu? Papamu? Alya?"
"Aku betah disini. Nenek mau ngusir aku? Nenek udah gak mau ngurus aku lagi?"
Terdengar wanita tua itu menghela nafas panjang. "Yasmin. Berdamailah dengan hatimu. Pulanglah ke jakarta. Atau setidaknya habiskan masa libur sekolahmu bersama mereka"
"Buat apa Nek? Di Jakarta gak ada Mama."
Kali ini Nenek tak bicara lagi, ia meninggalkanku sendirian menghirup kabut sore.

Berkali-kali Nenek menyuruhku pulang ke Jakarta untuk menemui Papa dan Alya. Tapi aku menolak. Selalu menolak. Keputusanku untuk menetap bersama Nenek telah bulat. Jika saja Mama masih ada, atau jika saja Alya tidak ada dan hanya ada aku dan Papa saja. Aku takkan mengambil keputusan ini.
Aku merindukan Papa, aku ingin tinggal di Jakarta menikmati segala fasilitas dan kemewahan yang Papa berikan. Tapi tidak bersama Alya, ya, tidak bersama Alya. Aku benci Alya dia telah memisahkan aku dan Mama.
Dulu, ketika Alya masih di dalam perut Mama, aku sangat menyayanginya dan selalu menemani Mama memeriksakan kehamilannya pada dokter spesialis kandungan.

Namun kelahiran adik kecil yang kunanti-nanti itu tak membuatku bahagia. Alya telah merampas Mama. Aku membenci Alya sejak ia dilahirkan. Aku tak pernah memperlakukan Alya sebagai adikku dan tak pernah memperlakukan Alya dengan baik.
Papa kecewa padaku. Aku tahu kerja keras Papa untuk membesarkan kami berdua tanpa Mama sangatlah berat. Meskipun Alya kecil diurus oleh seorang suster profesional. Tapi tak jarang Papa selalu turun tangan untuk sekedar memandikan atau menyuapi Alya sebelum ia pergi ke kantor.
Puncak kekecewaan Papa padaku terjadi pada saat Lima tahun yang lalu. Kala itu Alya berusia lima tahun. Ia tengah memakan dan memainkan kembang gula, mulut Alya kotor dan belepotan. Jelas aku tak suka. Dia terlihat semakin jelek dengan wajah belepotan seperti itu. Aku menendang Alya yang sedang terduduk memegang kembang gula. Ia terhempas hingga terguling. Alyapun langsung dibawa ke Rumah Sakit.
"Kamu lihat? Kamu puas? Kamu ingin Alya mati?" Bentak Papa di lorong ruang perawatan Alya. ICU. Ya, saat itu Alya masuk ICU. Aku hanya bisa menangis dan ketakutan karena Papa sedang murka padaku.
"Seperti apapun Alya, dia tetap anak Papa dan Mamamu. Dia tetap pemberian Tuhan yang harus kita jaga dan sayangi. Semua orang tua dibelahan bumi manapun menginginkan anaknya terlahir normal. Papa tidak akan menyalahkan Tuhan atas kondisi Alya.
"Tapi Alya udah buat Mama pergi Pa!"
"Itu sudah takdir Tuhan. Jangan pernah salahkan Alya."
Aku tahu. Papa menyayangiku, juga Alya. Tapi aku sudah kadung membenci Alya. Aku tak pernah bertemu Alya lagi setelah melihatnya terakhir kali di ruang ICU.
***

Pagi ini aku bermalas-malasan di teras depan rumah memperhatikan anak-anak kecil berlarian mengejar mobil pick up yang memuat brokoli. Entah apa yang mereka lakukan, jelas mereka tak akan menggondol setangkai brokoli. Karena di rumah mereka pasti sayuran itu sudah menjadi hidangan yang membosankan.
Mobil pick up itu belum luput dari pelupuk mata. Bepapasan dengan mobil Papa yang lantas terparkir di halaman rumah Nenek. Kiriman Papa. Benakku.
"Pagi non Yasmin, apa kabar?" Sapa pak Adam sopir Papa.
"Pagi Pa, saya baik. Bapak sendiri?"
"Alhamdulillah saya sehat non."
"Papa apa kabar Pak?"
"Beliau akhir-akhir ini mengeluh sakit kepala non, saya mau nganter titipan non Alya. Non Alya nyuruh saya pagi-pagi banget buat nemuin non Yasmin."
"Oh. Alya." Kataku tak semangat melanjutkan percakapan dengan pak Adam.
"Ini non." Pak Adam menyodorkan plastik kembang gula dan kartu ucapan berwarna merah muda serasi dengan warna kembang gula di dalam plastik transparan bermotif cinta.
"Aku gak suka kembang gula." Aku mengembalikan kembang gula pada pak Adam, mengambil kartu ucapan dan memasuki rumah tanpa peduli lagi dengan pak Adam.
"Bawa si Yasmin ke Jakarta heh Adam!" Teriak Nenek yang masih sempat ku dengar sebelum aku benar-benar mengunci diri di kamar.
"Yasmin gak mau Nek!" Teriakku tak mau kalah.

Aku menjatuhlan tubuhku di atas ranjang yang terbuat dari jati. Mengangkat kartu ucapan setinggi-tingginya hingga seperti menyentuh langit-langit kamarku. Di dalamnya hanya ada tulisan cakar ayam yang sangat sulit untuk dipahami.
Alya rindu, ingin bertemu. Alya menyayangimu. Menyayangimu. Dan selalu menyayangimu. ~Alya~
Alya? Mataku terbelalak. Benarkah anak jelek itu sekarang bisa menulis. Ia merindukanku. Ia menyayangiku meski dulu aku pernah menyakitinya hingga masuk ICU. Tanpa kusadari air mataku merembes hangat jatuh dari kelopaknya. Betapa keterlaluannya aku kala itu, tak pernah memperlakukan Alya dengan baik.
Benarkah ini tulisan Alya si anak autis itu? Apa perpisahan selama lima tahun telah membuat Alya berubah sebaik itu? Alya. Ya biar bagaimanapun, ia tetap adikku. Benar kata papa, Alya atau siapapun, tak ada yang menginginkan terlahir seperti itu.
Aku lari menghambur ke beranda rumah, menghampiri Nenek yang tengah duduk memegang kembang gula. Kali ini ia tak memasang tampang sinis atau judes. Kali ini ia menangis. Setelah kematian Mama, aku tak pernah melihat Nenek menangis lagi.
"Kamu keterlaluan yas! Alya sudah susah payah buatkan kamu kembang gula. Kamu tahu itu gak mudah buat anak seperti Alya! Dia selalu merengek ingin bertemu kakaknya. Berdamailah dengan hatimu Yasmin!"
"Yasmin malu nek! Yasmin malu punya adik autis kaya Alya. Bukan hanya karena Alya telah menyebabkan Mama meninggal. Tapi karena Alya autis dan jelek nek!" Akhirnya aku mengakui seluruh perasaanku pada nenek.
"Itu sama saja dengan kamu gak menghargai Mama dan Papa kamu! Kamu tanya Alya! Apa dia mau terlahir seperti itu?" Bentak nenek.
"Tapi ini sulit nek! Yasmin sayang sama Alya. Yasmin khawatir dan rindu sama Alya. Tapi Yasmin malu nek! Malu!"
"Bawa mati saja egomu itu Yasmin!!" Lagi-lagi nenek membentakku.

Aku menangis sejadinya. Aku tak dapat lagi membendung luapan rindu untuk Alya. Disisi lain aku belum bisa menerima kondisi Alya yang seperti itu.
Aku menyambar kembang gula dalam genggaman  nenek. Juga kunci mobil yang pak Adam simpan di atas meja. Aku nekat membawa mobil sendiri ke Jakarta tanpa pak Adam. Aku sangat sadar ketika nenek dan pak adam memanggil-manggil namaku. Mereka berusaha menghentikan aku untuk tidak menyetir sendirian dalam keadaan kalut. Tapi aku tetap melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku masih bisa melihat ruas-ruas jalan meski mataku telah tertutupi oleh rinai tangis. Dan.......
***

Lima tahun aku tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Teras kejadian ketika aku menendang Alya tak berubah. Ya, memang hanya teras. Tapi hal itu yang telah merubah nasibku.
Sayup-sayup terdengar alunan musik dari piano. Tak ada yang bisa memainkan piano di rumah ini selain Mama. Ya, itu piano kesayangan Mama. Masih pada posisinya tersimpan di samping tangga dan warnanya masih putih mengkilat.
Alunan lagu semakin jelas terdengar olehku. Dibalik piano besar itu duduk seorang gadis kecil dengan rambut hitam panjang tergerai. Jemarinya begitu cantik menari-nari memainkan nada yang indah.
Alya menghentikan permainan pianonya. Dia menoleh kearahku, matanya sembab dan pipinya basah. Namun terlihat lucu dan menggemaskan berkat poni dan pipi tembemnya.

Ini bukan Alya. Bukan anak autis yang ku tinggalkan lima tahun lalu. Sungguh ini bukan Alya.
"Ka-yas-min." Ia terbata-bata. Gadis kecil itu beranjak dari tempat duduknya. Ia menangis semakin hebat. "Al-ya-ka-ngen-ka-ka." Ia berusaha bicara.
Sekarang aku percaya, gadis kecil di hadapanku ini adalah Alya. Beberapa foto terbaru papa dan alya terpajang di dinding-dinding rumah. Siapa lagi kalau bukan adik semata wayangku.
Lima tahun telah merubah Alya menjadi lebih baik. Perkembangannya begitu cepat. Alya nampak seperti anak mormal pada umumnya, dia cantik dan menggemaskan. Papa pasti mengusahakan segala cara untuk membentuk Alya menjadi anak pintar.
"Maafkan kakak Al." Bisikku. Alya tersenyum. Ia membuka plastik kembang gula. Melahap kembang gula itu terlebih dulu. Mencubitnya sedikit dan menggoyangkan pada foto Mama juga ke arahku.
***

Sementara di tempat lain papa, nenek dan pak Adam menangis di ruang UGD sebuah rumah sakit. Ia memeluk tubuhku yang sudah tak bernyawa.
"Bawakan kembang gula buatan Alya untukku. Simpan saja diatas pusaraku" Bisikku pada Nenek (end).

Komentar

Postingan Populer