Menuju Senja / Lara



Hai....
Apakabar?

Rasanya sudah terlalu lama aku absen dari blog ini. Sudah terisi oleh banyak sarang laba-laba mungkin. Kuharap kau baik-baik saja. Kita semua selalu membaik di era pandemic ini.

Hai....
Aku kembali.
Kurasa bukan karena semata-mata ingin menulis lagi. Tapi... Aku merasa sepi. Banyak hal yang ingin kusampaikan. Kuceritakan. Apa yang kurasa. Yang ingin kusampaikan pada keluarga atau sahabat. Tapi malah kutelan lagi. Aku lebih banyak diam kali ini.

Mungkin... Tak semua hal bisa tersampaikan kepada manusia. Akan ada banyak manusia yang tak bisa memahami situasiku.

Dan pada akhirnya. Aku lebih menikmati laraku sendirian.

Sore, hari ini. Jumat, 27 Agustus 2021. 14:20 WIB. Lagi-lagi aku menikmati perjalananku. Duduk di salah satu kursi di Gerbong ke 4 kereta Lokal tujuan akhir stasiun Cicalengka.

Duduk di sebelah jendela. Aku lebih menikmati pemandangan di luar jendela dari pada di dalam kereta.

Namun, sesuatu di dalam kereta mulai mengusikku.

Di sebelah kananku duduk dua orang ibu berhadapan. Kutaksir mereka pulang kerja. Mereka dengan percaya dirinya memakan kudapan sambil berbincang. Aku muak melihatnya. Seharusnya memang tak ku lihat. Tapi ujung mata ini rasanya terus saja memaksa otakku untuk mengintruksi melihat kearah mereka. Mereka mengabaikan protokol kesehatan. Dan tidak lekas memakai masker mereka seusai kudapannya habis. Malah asik mengobrol.

Kembali fokus pada apa yang terpampang diluar jendela. Pemandangan lebih banyak dihiasi oleh pemukiman warga yang maaf, sedikit berantakan. Tapi menurutku itulah seni dari Negeri ini. Seolah menjadi karakter bagi Indonesia.

Lagu All In My Mind milik Lightcraft mengalun lembut ke telingaku. Kusandarkan kepalaku dan kututup mataku. Merasakan belaian lembut suara Imam Wijaya. Juga menikmati hembusan angin AC di atas kepalaku.

Beranjak, mengalun suara Gloria Jessica.

Lupakan saja dia
Maafkan saja dia
Hadapilah hidupmu
Terima nasibmu
Dia tak Cinta kamu

Jangan diharap lagi
Jangan diingat lagi
Jangan memaksakan dengan dia lagi
Coba lihat yang lain
Ada cinta yang lain
Ada yang diam-diam mencintaimu

Tercenung aku menatap keluar jendela. Sering mendengarkan lagu ini. Sering ternasihati oleh lagu ini. Tapi tidak membuatku sadar untuk berhenti memikirkan dia. Sudah kuputuskan untuk belajar melupa. Tapi melupakan ternyata tak semudah mencintai.

Luka yang kecil tapi kau kerap membuat itu
Terserah
Walaupun aku membencimu
Tapi ku rindu
Rindu yang slalu menggangguku
Ku marah namun cinta

Seperti itulah cinta kurasa. Kuakui aku bodoh. Ini tidak mencerminkan seberapa besar setiaku pada laki-laki. Ini hanya mencerminkan betapa aku sudah dibodohkan oleh cinta.

Andai aku tahu cara melupakan dan bangkit. Mungkin dari dulu aku sudah menjadi pihak yang berhasil dan menang. Tapi kenyataannya. Aku masih disini. Diam di tempat. Tak kemana-mana.

Kereta bergerak melambat. Pemberitahuan kondektur menggema disepanjang gerbong.

Sampai stasiun Bandung. Aku bergegas menuju pintu keluar. Sempat beradu tatap dengan seorang laki-laki. Matanya.... Kembali mengingatkanku pada dia. Baru saja aku menghadirkan kembali ingatan-ingatanku dengan dia. Menghadirkan kembali wajahnya. Senyum dan tatapnya yang hangat. Kaca jendela kumal di sebelahku rasanya merubah diri menjadi sosok dia.

Berdiri di ambang pintu. Kereta masih belum benar-benar berhenti. Intro Tiga Pagi memaksa masuk ke gendang telingaku. Aku sangat menyukai lagu ini. Setiap kali aku mendengarkannya. Aku merasa harus semakin cepat melangkah. Harus bergegas, entah untuk apa pun itu. Semua rasa dan emosi tiba-tiba saja mengelilingi kepalaku.

Angin berhembus dari pintu kereta yang terbuka. Aku masih belum ingin beranjak dari perjalanan ini. Tapi antrean di belakangku memaksaku untuk melangkah keluar.

Aku selalu dipaksa untuk melangkah dan bergerak. Entah itu oleh manusia di sekitarku atau oleh waktu.

Tapi sekali lagi. Betapa bodohnya aku. Aku masih saja belum menemukan sadarku.

Melangkah keluar dari stasiun masih diiringi lagu Fletch. 17:00 WIB. Langit masih membiru. Semburat mega hanya 1% menghiasi langit. Matahari masih utuh menyumbangkan udara yang hangat.

Aku bergegas memburu langkah. Lagu yang sedang kunikmati, bukan lagu santai. Langkahku terpacu oleh tabuhan drum. Kau pasti mengerti, bagaimana sebuah lagu atau musik bisa memberi semangat atau malah membuatmu semakin terluka.

Dari stasiun aku mengambil jalan kecil ke sebelah kanan. Jalan kecil itu menghubungkan stasiun dengan terminal. Ada banyak penjual disamping kiri dan kananku. Rumah makan. Gerobak burger. Gerobak minuman boba. Dan aku masih dengan ketidaksadaranku.

Sampai seseorang berhasil menyadarkan aku dari ketiadaan ini. Seorang bapak dengan perut buncitnya, badan gempal dihiasi dengan uban dari rambut gondrong, kumis, juga janggutnya. Ia menanyakan tujuanku hendak kemana. Yang pada akhirnya Ia menawarkan mengantarku pakai jasa ojeknya. Agak memaksa. Tapi terus kutolak.

Jera Ia menawariku. Akhirnya Ia membantuku mencarikan angkutan kota.

Maaf pak, aku hanya ingin menikmati perjalananku lebih lama. Dan angkutan kota bisa mengantarku lebih lama sampai di tujuan. Maaf, dan Terimakasih.

Kadang aku merasa semesta tidak memberiku kesempatan untuk terus tersadar. Dan waktu selalu membuatku menggali ruang-ruang pahit. Aku terlalu sering hidup dalam angan dan kenangan. Hingga aku abai dan tidak menikmati hari ini. Hari dimana aku ada.

Dalam diam
Ada luka
Yang tertawa riang

Dan
Hening yang menangis
Terlalu dalam

Ribuan cahaya
Hilangkan gelap
Menatapmu
Tak kuasa
Ku terserap

Kamu meredup
Aku tak hidup

(Tiga Pagi)





Komentar

  1. Balasan
    1. Alhamdulillah sehat, kamu juga semoga selalu ada dalam lindunganNya ya....

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer