Penghuni Sudut Malam

"Saya harap kamu secepatnya bisa memberikan jawaban. Dan...." Rahmi diam sejenak, menyentuh lengan Maurin dengan lembut dan penuh harap. "Saya berharap kamu berkenan untuk bergabung dengan perusahaan kami."

"Saya coba pikirkan dulu ya Bu. Terimakasih untuk kesempatannya."

"Sayang sekali kalau kamu menolak kesempatan ini, Rin. Kamu sangat memenuhi kriteria yang kami butuhkan. Terutama.... kriteria yang diinginkan oleh Pak Bagas," Rahmi kembali merajuk Maurin.
***
Maurin terdiam cukup lama. Otaknya kembali mengulang nama Bagas yang disebutkan Rahmi.

Bagas. Memang hanya sekedar nama belaka. Dan di muka bumi ini sangatlah banyak pria bernama Bagas bertebaran. Namun Maurin sangat enggan berhubunngan dengan orang yang bernama Bagas. Mendengarnya saja Maurin sudah benci. Apalagi harus terus-terusan berhubungan.

"Rin.... lo gak bisa menjudge semua cowok yang namanya Bagas itu berengsek. Sekarang ini posisinya lo lagi butuh duit kan? Lo butuh kerja! Sekali ini aja lo berdamai sama hati lo!" Anggi mulai gemas dengan Maurin yang keras kepala.

"Gi.... lo gak ngerti.... selama ini lo tau sendiri kan tiap gue denger nama itu gue sakit. Gue gak suka. Cuma denger namanya aja. Biar pun orangnya beda, ingetan gue pasti balik ke masa lalu. Sakit Gi. Sakit."

"Siapa bilang gue gak ngerti?"

Anggi berbicara nyaris menempelkan mulutnya di wajah Maurin. Hingga membuat Maurin menarik punggungnya ke belakang dan lekas memalingkan wajahnya.

"Lo pikir deh Rin. Temen-temen lo yang lain udah males banget ngikutin jalan pikiran lo. Mereka langsung ninggalin lo gitu aja kan, tiap kali lo ngomongin masa lalu?"

"ck... sok tauk!" Maurin mendengus.

"Bukan sok tauk, Rin. Gue denger sendiri. Yang lain akhir-akhir ini ngomongin lo di belakang. Bahkan gak sedikit dari mereka yang bilang kalo lo bodoh. Bego. Mereka gak setuju sama keputusan lo yang memilih buat hidup sendiri. Hidup tanpa cowok. Gue ngerti perasaan lo. Ngerti banget. Bakal susah buat lo lupain kejadian itu. Tapi lo gak bisa menyamaratakan semua cowok berengsek, Rin. Lo gak pernah nyoba buat buka hati lo. Setidaknya lo nyoba buat deket atau berteman sama cowok. Biar lo tau kalo gak semua cowok itu berengsek. Gak semua yang namanya Bagas itu berengsek."

Keterangan Anggi seolah membuka tabir yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya. Maurin baru mengetahuinya, dari mulut Anggi. Maurin merasa bahwa teman-temannya belakangan ini menghindarinya tanpa memberi penjelasan.

Jalinan pertemanan yang sudah dibangun lebih dari sepuluh tahun. Mereka yang dulu ada ketika Maurin nyaris mengakhiri hidupnya. Mereka yang selalu memberi semangat pada Maurin. Mereka tidak meninggalkan Maurin, padahal dulu Maurin menganggap dirinya teramat kotor.

"Rin.... gue sayang sama lo. Gue mau lo bahagia. Please lo lupain masalalu lo. Jangan lihat ke belakang terus Rin! Lo gak akan pernah bisa jalan maju kalo kepala lo muter ke belakang. Lo gak akan pernah bisa liat jalan di hadapan lo. Apa-apa yang ada di sekitar lo, lo gak akan pernah lihat. Ada banyak kebaikan di depan lo Rin!"

Maurin mulai menjatuhkan beberapa tetes air matanya. Bahunya mulai berguncang. Tak kuat, Maurin menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Anggi merasa sangat kasihan terhadap sahabatnya itu. Maurin yang rapuh. Maurin yang malang. Tanpa sadar, Anggi pun ikut menangis. Anggi mendekap tubuh Maurin yang berguncang semakin hebat.

"Gue sayang sama lo Rin. Gue gak mau lo kesiksa terus kayak gini. Lo lupain yang udah-udah. Lo maafin Bagas. Dengan begitu lo bisa mulai hidup lo yang baru. Buka hati lo Rin, buka. Kasih kesempatan cowok-cowok yang pengen kenal lo."
***
Pagi ini udara begitu dingin. Semalaman langit seolah-olah ikut menangis bersama Maurin. Jalanan pun masih meninggalkan sisa hujan berupa genangan-genangan air. Gang kecil penghubung rumah kontrakan Maurin dan jalan besar semakin terlihat kumuh dan menjijikan ketika musim hujan. Maurin harus berjalan sedikit berjinjit dan menghindari genangan agar sepatu kerjanya tidak kotor.

Sampai di jalan besar, Maurin masih harus berjalan cukup jauh. Berjalan hingga sampai persimpangan lampu merah. Menyebrang. Berhenti di trotoar tengah jalan. Menyebrang lagi. Kembali berjalan sampai Halte.

Senin pagi halte sangat ramai. Maurin tak ambil pusing dirinya tidak kebagian duduk. Maurin masih cukup kuat berdiri menunggu Metromini.

Keputusannya menerima tawaran Bu Rahmi bukanlah keputusan yang mudah. Sebelumnya Ia telah mempertimbangkan dan memikirkannya matang-matang.

Setelah pertemuannya dengan Anggi. Maurin sedikit membuka pikirannya. Ia putuskan untuk mencoba. Mencoba melupakan kesakitannnya. Mencoba membuka hatinya.

Maurin sadar bahwa selama ini ada begitu banyak pria yang berusaha mendekatinya. Berusaha mencuri hatinya. Namun Maurin bersikeras pada pendiriannya. Maurin lebih memberikan kesan buruk terhadap pria-pria yang mendekatinya itu.

Kali ini bakal gue usahain. Gue pasti bisa. Gue bakal tunjukin sama orang-orang kalo gue bisa bangkit. Tuhaaaannnn.... please... bantu saya mengejar bahagia saya...

Maurin berlari rebutan masuk Metromini. Berdesakan dengan penumpang lainnya. Seseorang di sampingnya memberi jalan pada Maurin. Sekilas, Maurin menatap wajah itu.

Payung....

Otaknya langsung mengingat benda itu. Seperti tersengat oleh ingatan yang tiba-tiba menjalari otaknya. Maurin yang sudah berjalan mencari tempat duduk yang strategis di dalam Metromini membalikkan badannya hingga menabrak  Ibu gendut.

"Aduh! Mau ke mana sih! Maen nabrak-nabrak aja!" omel Ibu gendut.

"Maaf bu... maaf banget."

Maurin menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil membungkuk sopan. Matanya kemudian beralih pada orang yang memberinya jalan tadi. Tanpa sadar, Maurin menarik lengan orang itu.

"Di sini. Duduk di sini ya," pinta Maurin.

Maurin sendiri tidak percaya bahwa dirinya bisa melakukan itu. Selama ini Maurin sangat anti terhadap laki-laki. Hingga mereka duduk berdampingan, Maurin kebingungan harus berkata apa.

"Gue harus....," Maurin melihat penampilan pria di sampingnya. Rapi. Ditambah perlakuannya yang lembut, sopan dan baik. Maurin harus bisa bicara lebih sopan. "Mmmhh... Saya harus ngembaliin payung kamu. Masih inget saya kan? Beberapa hari lalu kita ketemu di halte malem-malem. Kamu minjemin payung sama saya?"

Tak perlu mencoba mengingat-ingat. Pria itu tersenyum dan langsung mengiyakan. Senyum yang malam itu Maurin ingat hingga sulit tidur.

Senyum yang teramat manis untuk pria asing sepertinya. Senyum dari seorang pria yang untuk pertama kalinya berhasil menggetarkan hati Maurin. Satu-satunya pria yang berhasil merobohkan pondasi pertahanan Maurin. Pria yang beberapa hari ini bayangannya berputar-putar di kepala Maurin.
***
Pria yang tak banyak bicara. Yang sebenarnya malam itu sengaja menunggui Maurin yang seorang diri di Halte.

Pria itu tahu bahwa Maurin bukanlah sedang menunggu Metromini atau angkot. Sama halnya dengan dirinya. Mereka hanya harus berjalan cukup jauh untuk sampai ke tujuannya masing-masing.

Pria itu memutuskan untuk menunggu Maurin. Ia tak mungkin tega meninggalkan wanita sendirian malam-malam di tempat yang sepi. Jam 11 malam halte berubah menjadi tempat yang menakutkan. Dan karena hujan tak kunjung berhenti. Akhirnya Ia memutuskan untuk bicara pada Maurin.

"Nunggu dijemput?" Ia menghampiri Maurin.

Sempat Ia melihat ekspresi curiga yang berlebihan dari Maurin.

"Saya bukan orang jahat. Tenang aja. Kamu nunggu dijemput atau nunggu hujan berhenti? Atau order Taxi online? Soalnya jam segini udah gak ada angkutan umum."

"Ujannya gak berhenti-berhenti. Gue lupa bawa payung. Kontrakan gue jauh banget dari sini. Kalo maksain jalan gak akan bisa."

"Ini pakai aja. Nanti keburu malem," Ia menyodorkan payung yang langsung diambil oleh Maurin.

"Lo sendiri?"

"Saya gampang. Bisa lari. Kebetulan rumah saya deket kok. Tuh. Di situ," Ia menunjukan telunjuknya sembarangan.

Maurin mengikuti arah telunjuknya. "Oh, tinggal di daerah situ?"

"Iya, ya udah. Kamu cepat pulang, nanti kemaleman."

"Kalo rumah lo deket. Dan lo bawa payung. Kenapa harus nunggu lama di Halte?"

Pria itu hanya tersenyum. Senyum yang manis. "Habis saya pergi, tolong langsung pulang, ya. Halte bahaya kalau sudah malam," ucapnya dan langsung pergi meninggalkan Maurin.

Maurin sedikit tersentak oleh ucapan terakhir pria itu. Mengingat malam memang sudah sangat larut. Maurin membuka payungnya. Menyaksikan pria itu berlari dengan kemejanya yang langsung kuyup. Ia merasa bersalah pada pria baik itu.

Maurin melihat ke sekeliling halte. Hanya tinggal dirinya seorang, menjadi penghuni terakhir. Jalanan sudah mulai sepi. Maurin pun memutuskan untuk lekas meninggalkan Halte.
***

"Tapi sekarang saya gak bawa payungnya. Gimana dong?" Maurin panik sendiri.

"Gak apa-apa. Lain kali aja kembalikannya. Atau, buat kamu aja," katanya lembut.

"Enggak, enggak. Gak usah, saya juga punya payung kok."

"Yaudah nanti lagi aja dikembalikannya."

"Kapan?"

"Kalau sekarang kan gak dibawa. Mungkin besok bisa."

"Di mana?"

"Di Halte lagi bisa. Waktu berangkat kayak barusan atau mungkin malamnya."

"Ok. Kalo gak pagi berarti malem ya."

"Atau ada nomor yang bisa dihubungi?"

Maurin sangat menyesali kecerobohannya. Ponselnya tadi pagi jatuh ke kubangan depan kontrakan. Sekarang ponsel itu sedang sekarat. Atau mungkin sudah benar-benar mati.

"Maaf. Ponsel saya rusak. Saya gak punya alat komunikasi lainnya."

"Hmm," pria itu manggut-manggut. "Jangan sampai nantinya malah kamu yang nungguin saya di halte. Takutnya besok pagi kita gak ketemu. Dan malamnya kamu nunggu sendirian di Halte."

"Gak apa-apa kok. Saya bakal nunggu."

"Besok malam kemungkinan saya sampai Halte pukul 9. Hmm.... saya bakal usahakan pulang cepat."
***

Maurin tidak menyangka bahwa mereka berdua akan turun di tempat yang sama. Di kawasan yang memang dipadati oleh gedung-gedung perkantoran. Beberapa penumpang lainnya pun banyak yang turun di kawasan tersebut.

Setelah mempersilakan pria baik tadi berjalan lebih dulu. Maurin memasuki sebuah Minimarket untuk membeli tisu basah. Ia harus membersihkan sepatunya yang kotor. Maurin berpikir bahwa besok Ia lebih baik pakai sandal dari Kontrakan. Biar sepatunya gak kotor seperti hari ini.

Sampai di kantor. Maurin meminta receptionis untuk menghubungi Bu Rahmi. Tak lama Bu Rahmi datang dan membawa Maurin memasuki lift.

"Saya antar ke ruangan kamu ya Rin."

"Iya Bu."

"Nanti saya kenalin dulu kamu ke Pak Bagas. Ruangannya persis sebelah ruangan kamu."

"Baik."

"Pak Bagas baik kok Rin. Jadi nanti jangan segan-segan buat bolak-balik ke ruangan dia buat nanya-nanya. Atau bisa telfon dari ruanganmu aja. Soalnya yang ngerti betul kerjaan kamu itu ya dia. Saya cuma sekedar ngasih tau jobdesnya aja. Selebihnya... Pak Bagas sendiri yang bakal menyampaikan. Sekretaris atau asisten, itu ya kamu udah ada bayangan kali Rin kerjanya kayak gimana."

Pintu lift terbuka. Mereka sampai di lantai 5 dan berjalan menuju sebuah ruangan.

"Iya Bu, saya udah browsing juga sih."

"Maaf ya. Penempatannya gak sesuai. Kamu kuliah apa, kerjanya apa...," Bu Rahmi mengelus bahu Maurin sebelum akhirnya mengetuk pintu lalu membukanya.

Pak Bagas. Seorang General Manager dari sebuah perusahaan besar. Sosok yang selama ini dianggap menjadi ancaman bagi Maurin. Tengah duduk di mejanya dan tatapannya langsung tertuju pada tamu yang dibawa oleh Bu Rahmi.

Bagas tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia melompat dari kursinya dan berjalan menuju Maurin. Bagas seolah tidak percaya akan pertemuannya dengan Maurin. Ia sendiri bingung, diantara kekagetannya, rasa tidak percayanya, terselip rasa senang yang entah datang dari mana.

Begitu pun dengan Maurin. Ia terpaku di tempatnya. Tubuhnya masih berada di ambang pintu. Hingga Bu Rahmi menariknya untuk duduk di sofa sebelah pintu. Maurin masih ternganga tak percaya. Antara kenyataan, khayalan yang bercampur halusinasi, keterkejutannya. Ia sibuk mencari kesadarannya.

Hingga tanpa disadari. Maurin dan Bagas saling tatap dalam waktu yang cukup lama.

Bu Rahmi merasakan keanehan dari mereka berdua.

"Maaf. Bapak sudah kenal dengan Maurin?" akhirnya Bu Rahmi mengakhiri kekagetan mereka.

"Payung...," bisik Maurin malu.
***

Komentar

Postingan Populer