2 Senja 2 Sisi 2 Rasa
Ia tiba dengan napas
terengah menubruk lamunanku. Mulutnya yang menghitam mengeluarkan aroma rokok
yang menyengat penciumanku. Ia membenarkan bajunya hingga tersadar pada keberadaanku yang
tengah murka.
“Sorry, aku ada perlu
dulu tadi,” ujarnya.
“No Problem! Aku kesini
Cuma mau balikin barang-barang kamu yang ketinggalan di rumahku,” jelasku.
“Bukannya dari dulu
barang-barang itu sengaja kutinggal di rumahmu Ran?” tanya Ralin sedikit heran.
“Mulai sekarang enggak!
Jangan pernah temuin aku lagi Lin!” paparku membuat Ralin semakin gusar dan aku
melengos membanting pintu kamar Ralin hingga mengundang suara yang memekakkan
pendengaran.
“Ranum! Maksud kamu apa
sih? Salahku apa?” aroma Rokok itu semakin tercium ketika Ralin berteriak di
hadapanku.
“Aku peduli sama kamu!
Sekarang kamu udah berubah dan Aku membencinya!” kali ini aku benar-benar pergi
dan tidak menghiraukan Ralin.
Di halaman rumah Ralin terparkir mobil Braga, aku
berlari pura-pura tidak menyadari keberadaan pria brengsek itu. Ya, pria
brengsek yang telah merubah sahabatku yang manis menjadi brandalan.
Tiga bulan Ralin dekat
dengan Braga, sedari awal aku tidak menyetujui hubungan mereka. Aku tahu betul
siapa Braga, pria setengah bule itu bajingan dan….. dan aku pernah menjadi
korbannya tanpa sepengetahuan Ralin. Aku yakin, saat ini Ralin telah terhasut
oleh Braga, Ralin yang sekarang bukan Ralin pendiam dan pemalu. Kini Ralin
lebih sering menghabiskan waktu dengan Braga ketimbang dengan aku sahabat
karibnya. Ia juga sering bolos sekolah, pulang larut malam dan yang paling
parah ia berani membentak Ibunya.
Pagi sebelum bel tanda
masuk berdering, Ralin memasuki kelasku. Ia berdiri di hadapanku yang tengah
membenamkan kepala di atas tumpukan buku pelajaran.
“Maksud lo apa ngomong
gitu sama Braga, hah?” Ia berteriak lantang hingga membuat seisi kelas menoleh
ke arah kami.
Mungkin mereka tak percaya, Ralin yang manis bisa berbicara
sekasar itu padaku.
“Maksud kamu apa?
Ngomong apa?” tanyaku heran.
“Sebenernya lo suka kan
sama Braga? Lo pernah ditolak Braga! Makanya lo gak pernah setuju sama hubungan
gue!” suaranya semakin melengking.
“Heh! Asal kamu tau
Lin, aku dan Braga memang pernah pacaran. Tapi kali ini aku benar-benar
membencinya! Dia brengsek! Bajingan! Kamu bakal nyesel udah kenal dia!”
“Gue gak percaya, lo
ngomong gitu karena lo sakit hati kan?”
“Terserah Lin, aku
hanya menyayangimu dan aku gak mau kamu terjerumus lebih jauh.”
“Gue turutin permintaan
lo yang kemaren. Gue gak akan nemuin lo lagi!” Ralin pergi meninggalkan aku.
Pertengkaran kami disaksikan oleh teman-teman sekelas yang merasa penasaran
dengan apa yang telah terjadi pada kami. ***
Dua bulan berlalu tanpa
Ralin, aku mendengar kabar dari teman sekelas Ralin bahwa ia di Drop Out dari Sekolah karena sering tidak masuk dan tidak membayar uang sekolah. Aku telah
terbiasa dengan hari-hariku tanpa Ralin, aku berusaha untuk melupakannya, tapi
tetap saja rasa sayangku menumbuhkan rasa rindu yang melambung.
Secara tiba-tiba aku
bertemu dengan Braga ketika usai latihan menari, aku muak melihat pria itu dan
berlalu seolah tak mengenalnya. Tapi kali ini Braga mengejarku, ia menarik
lenganku kuat hingga merah dan terasa sakit oleh cengkramannya.
“Maafin aku Ranum,” serunya dengan mata yang tergenang oleh cairan bening.
“Gak mudah untuk
memaafkan kamu. Aku gak bisa maafin kamu Braga!”
“Kumohon Ranum!”
“Bukankah sekarang kamu
sudah bersama Ralin? Kamu berhasil menjerumuskan dia! Bukankah kamu
menginginkan wanita berandal agar sama denganmu? Bukankah….” Braga mendekap
mulutku dengan tangannya yang kekar, ia meneteskan air mata.
“Enggak Ranum, Kamu
salah! Setelah membuatmu terluka aku tersadar dan meninggalkan barang sialan
itu. Aku menyayangimu, aku berusaha untuk menjadi pria baik yang pantas
menyayangimu.”
“Aku gak percaya!
Sekarang kamu malah menjerumuskan Ralin!” kataku lagi.
“Percayalah, aku
mendekati Ralin agar dia keluar dari lubang hitam itu. Tapi semakin aku
melarangnya, ia semakin nekat Ran. Bahkan Ralin lebih parah dariku. Percayalah
Ranum, aku telah berubah!” katanya.
“Gak mudah buat percaya
sama orang yang hampir menodaiku! Aku gak peduli dengan kalian!”
Aku pergi meninggalkan
Braga begitu saja, memang tak mudah untuk melupakan kejadian malam itu. Malam
disaat kami masih pacaran, dan layaknya pasangan kekasih yang sedang dimabuk
asmara. Hatiku luluh begitu saja oleh rayuan-rayuan Braga, aku mau melakukan
apa saja untuk selalu bersamanya. Sampai malam itu tiba, aku melihat banyak
jarum suntik di tas Braga, juga di saku jaketnya. Fikiranku meremang, aku
sedikit tahu tentang penggunaan barang itu. Oh, inikah Bragaku, Braga yang
pemalu dan pendiam telah dihanyutkan oleh buayan-buayan barang keparat itu.
Aku menghampiri Braga
yang tengah terduduk, ia nampak pucat dan memang dari tadi siang ia tak banyak
bicara dan lebih sering melamun.
“Braga, ini apa?” tanyaku menunjukan jarum suntik yang kutemukan itu.
“Ran, dari mana kamu
dapetin itu?”
“Dari saku jaket kamu!
Di tas kamu juga banyak! Braga, please jelasin ini apa? Bukan punya kamu kan?
Jelasin Ga!” desakku.
“Aku gak bisa lepas
dari semua itu Ran!” bisiknya ditelingaku dan memelukku erat, semakin erat dan
dia hampir menodaiku…. Beruntung. ya hanya kata itu yang bisa ku ucapkan,
beruntung aku bisa lari dari tempat itu, meninggalkan Braga dengan
ketidakpercayaanku. Dan sejak malam itu, aku membenci Braga. ***
Senja telah menggelayut
di atap bumi, cahaya remang dari lampu jalan mulai menghiasi senjaku. Aku
benar-benar merindukan Ralin. Seperti yang telah dikatakan Braga, Ralin lebih
parah dari Braga, aku mendengar Tante Niken Ibunya Ralin sering mengeluhkan
soal kelakuan anak semata wayangnya itu pada Papaku. Ya, Tante Niken dan Papaku
telah bersahabat sejak kecil, seperti aku dan Ralin. Aku tak dapat berbicara
sepatah katapun, apalagi harus bilang atau memberi tahu mereka soal kedekatan
Ralin dengan barang sialan itu. Aku hanya bisa memendamnya. Ya aku hanya bisa
diam.
“Kasihan Tante Niken," Papa menghela nafas di sampingku yang sedang asik menonton Drama Korea
kesukaanku.
“Kenapa emangnya Pap?” tanyaku tanpa menoleh sedikit pun pada Papa.
“Kamu sebenarnya tau ga
sih Ran?” tanyaya lagi.
“Tau apa?”
“Ralin make,"
Aku
tersentak dan bingung harus berkata apa, sungguh.
“Papa kan tau udah lama
aku ga bareng Ralin. Dia udah berubah, aku ga suka. Bukannya Papa bilang aku
harus temenan sama orang baik?” kataku.
“Kamu yakin, kamu ga
tau?”
“Aku Cuma tau Ralin
sering merokok dan aku ninggalin dia.”
“Kamu ga make juga kan
sayang?” tanya Papa serius.
“Papa bisa tes urin
aku, bisa cek tabungan aku, bisa tanya mbok Ning kalo aku selalu pulang sekolah
tepat waktu dan bisa tanya ke Tuhan kalo aku masih rajin sembahyang.”
“Syukurlah, kita tengok
Ralin sekarang, dia tengah sekarat," kata Papa.
Dan kata Sekarat itu telah
menghujam jantungku. Ralinku yang sedang kurindukan tengah sekarat.
Senja ini langit begitu
legam. Ia tertidur pulas dengan selang yang menempel di hidung dan pergelangannya.
Dua bulan tak berjumpa, ia begitu kurus, kulitnya kering dan banyak bekas luka
sayatan di tangannya. Oh, Ralinku yang malang.
Obat-obatan itu telah
sampai ke pembuluh darah di otaknya juga telah meracuni livernya. Apa yang kamu
harapkan dari obat-obatan itu Ralin? Cinta Braga? Perpisahan kita? Atau
kematianmu?
Aku tak bisa menangis,
selain ada Braga di samping Ralin yang sangat ku benci. Ada Papa pula yang
mendekapku, aku telah berjanji pada diriku, takan pernah meneteskan air mata di
hadapan Papa. Cukup saat Mama pergi saja, kami menangis bersama dan berjanji
takan pernah menangis lagi.
“Ranum sayang, kamu
jangan kecewain Papamu ya nak," kata Tante Niken di sela-sela tangisnya.
“Aku Cuma punya Papa di
bumi ini, aku gak akan pernah ngecewain Papaa kok Tan," kataku menguatkan dekapan Papa. ***
Ini senja kedua aku
menjenguk Ralin yang telah hampir 2 minggu tak sadarkan diri. Ia kini bisa
membuka kelopak matanya, meski matanya yang dulu bulat kini telah kisut dan
layu. Aku benar-benar merindukannya, Ralinku yang dahulu, tapi aku begitu kesal
dan membenci Ralin yang sekarang ada di hadapanku. Aku kesal pada keputusan dan
tidakannya mengambil jalan hidup seperti itu.
Aku tak pernah berteman
dengan orang yang berperangai buruk. Aku selalu meninggalkan temanku disaat aku
mengetahui sisi buruk mereka. Ya, mungkin aku terlalu pemilih, tapi itulah aku,
aku hanya ingin dekat dengan orang-orang baik seperti yang dikatakan Papa.
“Ran…” suara Ralin
lemah memanggil namaku.
“Ya,” kataku sambil
memandang jendela, disana tampak segerombol burung, di langit merah, mereka tampak kompak, itu yang
kurindukan dari kami –aku dan Ralin- saat ini.
“Braga ga seburuk yang
kamu kira Ran. Dia sangat mencintaimu. Kekuatan cintanyalah yang membuat dia
berubah. Dia telah berubah. Maafkanlah dia Ran," tutur Ralin tiba-tiba.
“Bukankah Braga
pacarmu? Aku ga akan ambil Braga dari sahabatku Lin! Lagipula hubunganku dan Braga sudah berakhir.”
“Kamu masih anggap aku
sahabat kan Ran?”
“Entahlah, tapi aku
sangat benci kamu yang sekarang. Aku kangen sama Ralin yang dulu.”
“Kenapa? Karena obat
sialan itu?”
“Otak dan Liverku udah
rusak. Oh ya Ran, kamu salah, aku sama Braga gak pernah pacaran. Selama ini aku
mencintai Braga, tapi cinta dan hati Braga Cuma buat kamu. Aku gak bisa maksa.”
“Udah lah Lin!”
“Selama ini Braga
berusaha bujuk aku buat sembuh, aku pura-pura sembuh di hadapan dia, aku
pura-pura sempurna dihadapan dia, tapi….” Ralin menangis dan menggenggam
jemariku.
“Tapi apa?”
“Aku bodoh.”
Aku melangkah menuju
taman hijau di pelataran rumah sakit. Bau tanah bekas gerimis begitu menempel
di penciumanku. Ekor mataku menangkap sepasang anak berseragam SMA sebaya
denganku, mereka tumbuh subur. Keduanya berbadan gendut, cekikikan sembari
memegang sebuah buku pelajaran. Meskipun mereka tak cantik, tapi aku yakin
bahwa mereka sehat.
Papa menghampiriku yang
tengah duduk di bangku kayu, mungkin perbincangannya dengan Tante Niken
telah selesai. Ia membelai lembut rambutku.
“Pendapat Papa tentang
Braga gimana?” tanyaku tiba-tiba tanpa sadar.
“Dia Anak yang baik,
bertanggung jawab dan selalu memberi semangat pada Ralin.”
“Tapi mereka gak
pacaran Pa!”
“Papa tau, sebenernya
mereka berteman kan?”
“Ya, apa yang Papa tau
tentang Braga?”
“Dia punya Iman!
Barusan Papa habis sembahyang sama dia. Kamu naksir dia?”
*****
k g sampai slesai , mn endingny? -_-
BalasHapussengaja d bikin ngegantung, biar pembaca bisa nerusin ceritanya ssuai versinya masing2... hehe
BalasHapus