Ayah



Hidupku tak selalu bahagia, kadang dengan uang jajan yang pas-pasan aku berusaha untuk menahan lapar yang melilit perutku. Waktu itu hari sabtu, hari dimana uang jajanku telah benar-benar habis. Padahal di hari-hari awal aku mendapatkan uang jajan dari Ayah, aku berusaha untuk hidup hemat. Aku tak seperti kebanyakan Mahasiswa lain yang bebas membeli sesuatu yang mereka inginkan, tanpa bisa mempertimbangkan mana keperluan dan keinginan. Kadang aku bersyukur, dengan kondisi keuangan yang seperti ini hidupku dijauhkan dari kata Boros.
Sabtu malam Ayah datang ke kostanku bersama teman kerjanya, tubuhnya yang kurus kecil buah dari kerja keras untuk menafkahi dan menyekolahkan anak nya selama ini tampak begitu tampan dan gagah. Dengan memanggul galon air mineral dipundaknya, ayah masuk dengan wajah sumringah sambil mengucapkan salam. Ayah duduk dan menghela nafas panjang, aku sibuk membuka tutup galon air mineral yang baru dibawanya. Kusodorkan dua gelas air putih untuk Ayah dan temannya. Ayah pun mulai bicara.“Ayah gak bakal lama disini, Cuma nganterin minum sama ini.” Ayah memasukan tangan nya yang kekar ke dalam saku yang ada di bajunya dan menyodorkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan padaku. “Ayah Cuma punya segitu, mungkin cukup buat seminggu.” Lanjutnya.“Iya pasti cukup. Makasih Yah.” Kataku sambil menahan ribuan butir air mata yang mendesak ujung mataku agar tak terjatuh di hadapan Ayah.“Ayah pulang dulu, jaga diri baik-baik.” Seru Ayah sambil beranjak dari duduknya.Aku mengantarkan Ayah sampai jalan besar, dimana Ayah memarkir mobil yang ia pinjam dari atasannya. Begitu mobil yang dikendarai Ayah menghilang dari pandanganku, aku berlari menuju kamarku dengan air mata yang membanjiri pipiku.Dengan memandang gulungan uang yang diberikan oleh Ayahku, tangisku semakin menjadi. Aku tidak pernah tau seperti apa Ayah bekerja, seberat apa pekerjaannya. Yang aku tau hanya pengorbanan dan perjuangannya untuk bisa membiayai kuliahku hingga lulus. Setiap minggu Ayah datang menemuiku dengan galon air mineral di pundaknya dan temannya membawa kantung plastic besar berisi mie instan, telur, berbagai makanan ringan, sampho, sabun mandi dan pasta gigi.Hampir semua kebutuhanku dibelikan oleh Ayah, meskipun pemberian dari Ayah bukan sesuatu yang mewah dan mahal, tapi bagiku semua itu sangat luar biasa dan belum tentu orang lain bisa mendapatkannya. Sambil menangis, aku berusaha untuk mengingat semua pengorbanan Ayah untuk ku selama ini, dan itu tak terhitung. Ayah, meskipun tidak banyak bicara padaku, tapi ia sangat peduli dan selalu mengkhawatirkanku.Kini Ayah tertidur di depan Televisi, mungkin ia lelah. Aku bisa melihat dan merasakannya, dari urat-uratnya yang menonjol, dari badannya yang tak segagah dulu. Ku pandang Ayahku, dari ujung rambutnya yang telah beruban hingga telapak kakinya yang menebal. Itukah Ayahku, pria yang selalu mengkhawatirkanku, pria yang telah membesarkanku hingga kini, pria yang tak pernah berhenti menyayangi dan mencintaiku. Ya Tuhan, aku tidak sanggup jika harus kehilangan Ayah. Saat ini aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk Ayah, belum bisa membalas semua kebaikan Ayah, meskipun semua itu takan pernah terganti. 

Ku tatap lekat-lekat wajah Ayahku, berharap saat ini Ayah sedang bermimpi indah. Aku tak ingin kehilangan saat seperti ini, aku bisa mendo’akan nya dengan memandang wajahnya langsung, terus mendo’akannya hingga ia terbangun. Dan itulah hal yang sangat membahagiakan dalam hidupku, bukan uang, bukan barang mewah, tapi Ayahku.

Komentar

Postingan Populer