Adalah Kamu Yang Mengobati Luka

Sore itu aku sedang buru-buru. Bayangkan saja. Lima menit menjelang waktu pulang. Pak Ilham datang ke ruanganku.
"Ye. Sa. Ra, kau antarkan file revisian ini ke divisi periklanan sekarang! Sudah ditunggu. Deadlinenya besok pagi," perintah Pak Ilham.
Aku. Yesara. Karyawan baru. Yang tidak diperbolehkan untuk bilang tidak kepada senior. Apa yang diperintahkan oleh mereka. Menjadi kewajibanku untuk mematuhinya. Kalau tidak, maka aku akan berdosa. Tidak tanggung-tanggung, dosa yang kupikul merupakan dosa besar. Apalagi yang menyuruhku Pak Ilham. Bosku sendiri.
Dengan sangat buru-buru agar bisa pulang tepat waktu. Aku berlari keluar dari ruanganku. Tujuanku adalah lift. Beberapa detik menanti di depan lift. Aku akhirnya berpaling. Balik kanan lalu berlari menaiki tangga.
Dari lantai 2 menuju lantai 4. Tidak apa-apa. Sekalian olahraga sore. Sekalian menurunkan berat badan beberapa ons.
Tiba di belokan lantai 4. Kakiku tersandung. Karena menaiki tangga dengan cara berlari. Dengan nafas yang masih tersengal. Aku masih ingat. Ada dentuman dari badanku yang terjatuh menghantam lantai. Juga bunyi Prang akibat tangan kananku menghantam besi pegangan.
Aku masih memegang file yang diberikan Pak Ilham di tangan kiri. Selain berusaha melindungi file revisian, sikut kiriku juga menahan tubuhku agar tidak benar-benar terjatuh. Aku terjatuh dengan posisi setengah telungkup di tangga. Dan sialnya. Posisi kedua lututku berada tepat menyentuh pinggiran keramik. Kau tau, bagian itu agak sensitif kalau menyentuh tubuh manusia.
Aku berusaha bangkit. Dengan tubuh masih gemetar. Berpegangan pada besi penyangga. Kakiku lemas. Lututku sakit dan perih. Aku tidak kepikiran untuk melihat anggota tubuhku apakah masih lengkap atau tidak. Yang pasti, rasanya sakit di sekujur tubuh. Perih. Kaget. Dan gemetaran. Untung saja aku jatuh tidak jumpalitan sampai lantai 1.
Dan lebih beruntung lagi bahwa sore itu aku menggunakan tangga darurat. Jadi tidak seorang pun menyaksikan kejadian tragis sekaligus memalukan itu.
Aku menyeret tubuhku untuk benar-benar sampai di Lantai 4. Kejadian jatuh itu membuang waktu beberapa menit. Ditambah, aku berjalan seperti wanita yang sedang hamil tua, melengkapi bertambahnya waktu yang terbuang.
Aku tidak sempat merapikan penampilanku saat itu. Mungkin rambutku acak-acakan. Dengan sisa kekuatanku. Akhirnya aku sampai di depan ruangan divisi periklanan.
Aku mengetuk pintunya pelan. Tidak ada tanda-tanda akan terbuka.
"Permisi....," kataku nyaris merintih karena masih menahan sakit.
Berdiri menanti pintu terbuka kembali menambah waktuku yang terbuang. Aku tidak berani melihat jam tangan. Aku tak ingin tahu waktu itu sudah jam berapa. Berdiri cukup lama membuat lututku terasa semakin sakit. Aku mencoba mengetuk pintu di hadapanku lagi.
"Halo, permisi....," kali ini agak teriak.
Dan lututku benar-benar perih. Aku mecoba berpegangan pada dinding sambil dengan spontan mengeluarkan bunyi desisan karena perihnya itu. Kebetulan lantai 4 entah bagaimana caranya, sudah sepi dan tidak ada manusia di luar ruangan mau pun di lorong.
Seseorang. Dari arah belakang menepuk pelan bahuku.
"Ada yang bisa dibantu?" dia bertanya.
Aku tak punya kekuatan untuk memutar tubuhku hingga bisa melihat siapa gerangan di belakangku.
"Maaf Pak, apa orang periklanan sudah pada pulang ya? Dari tadi saya ketuk pintunya gak ada yang buka," kataku tanpa menoleh ke arah orang yang diajak bicara.
"Maaf ada perlu apa?" dia bertanya lagi.
"Saya disuruh Pak Ilham antar revisian ini. Katanya sudah deadline."
Laki-laki itu memegang lenganku dan memutar tubuhku hingga bisa berhadapan dengannya.
"Kamu baik-baik saja?"
Itu bukan sebuah pertanyaan. Lebih tepatnya sebuah spontanitas dari perasaan kaget. Karena setelahnya dia menyelidik tubuhku dari atas hingga bawah. Aku yakin. Dia sama sekali bukan laki-laki hidung belang. Mengingat penampilanku kali itu sedang benar-benar acak-acakan. Dan meski pun saat itu aku sedang mengenakan rok pendek.
"Kamu kenapa?" tanyanya lagi.
"Maaf. Saya ada perlu sama bagian periklanan Pak," kataku mengabaikan pertanyaannya.
"Iya. Beri saja filenya ke saya. Tadi Pak Ilham telfon mau kirim revisian. Ini saya balik lagi."
"Oh, Bapak udah pulang ya?"
"Tadi kami habis jenguk teman yang lagi kritis. Yang lain langsung pulang. Saya balik ke sini lagi buat ambil revisian."
"Oh, maaf merepotkan."
"Bukan kamu yang merepotkan. Justru saya yang sudah merepotkan kamu."
Dia merogoh saku celananya. Mengeluarkan kunci dan membuka pintu dengan cara yang sangat tergesa-gesa.
Dia memegangi lenganku. Agak risih sebenarnya. Tapi aku tidak berpikiran sedikit pun kalau dia laki-laki cabul. Mengingat lantai 4 waktu itu sudah benar-benar steril dari manusia. Hanya ada kami berdua.
Aku tidak kepikiran mengenai beberapa resiko buruk yang akan menimpaku. Karena saat itu aku hanya fokus pada kedua lututku yang sangat perih dan sakit.
Perlahan dia memapahku untuk memasuki ruangannya . Dengan cara yang begitu lembut.
"Masuk dulu," katanya
Dan entahlah, aku langsung menuruti perintahnya. Karena aku melihat di dalam ruangannnya ada sofa. Kau mungkin tahu maksudku. Aku hanya ingin duduk untuk menenangkan diri.
Dia menghampiri sebuah meja. Yang pada akhirnya aku tahu, bahwa itu merupakan meja kerjanya. Dengan pembawaannya yang tenang. Dia membuka laci dan mengeluarkan sebuah kantung plastik berwarna putih. Pada saat itu aku sudah duduk di sofa. Dia yang mendudukkan aku di sofa. Sekali lagi, dengan cara yang sangat lembut dan sopan.
Dia kembali berjalan kearahku. Pandangannya sekilas melihat lututku.
"Ini ada sedikit peralatan P3K," katanya sambil memperlihatkan plastik yang dia bawa. "Gak lengkap. Tapi kamu bisa pakai buat mengobati lukamu."
Aku hanya menoleh sebentar ke arah plastik itu. Tanpa berminat untuk mengobati lututku. Karena rasanya pasti sangat perih. Aku benci sesuatu yang menyakitkan.
"Saya yang obati atau mau kamu sendiri yang obati?" dia bertanya sambil memandang mataku.
Aku menggeleng. "Pasti sakit.... gak mau.... biar aja sembuh sendiri...."
"Benar gak akan apa-apa? Lutut kamu berdarah. Sudah lihat?"
Jujur aku sama sekali belum melihat lututku dari semenjak jatuh. Dan ketika aku mencoba melihatnya. Lutut di kaki kiriku memang berdarah. Kau tau, darahnya sudah mengalir hingga ke sepatuku. Sementara yang sebelah kanan darahnya tidak banyak, hanya berkumpul di daerah yang lukanya saja. Aku tidak kepikiran bakal seperti itu. Yang ada di kepalaku, mungkin bakal ada baret saja. Nyatanya, kulitku robek besar. Lukanya cukup dalam.
Aku bingung. Aku tidak suka melihat darah. Di luar kesadaranku, tubuhku semakin melemah. Air mataku tanpa bisa kucegah. Langsung berjatuhan ke pipi.
Dia yang berada di sampingku. Langsung berjongkok di hadapanku. Kami berhadapan saat itu. Dia memandang mataku lembut.
"Pasti perih. Biar saya saja yang obati. Kamu sandaran saja, rileks. Jangan lihat bagaimana saya mengobati lutut kamu."
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Saat itu pandanganku sudah tertutup oleh genangan air mata.
"Maaf. Kalau kurang sopan. Kamu gak perlu khawatir bakal saya apa-apakan. Karena di ruangan ini ada CCTV," katanya lagi.
Aku mengikuti sarannya. Menyandarkan punggungku ke sandaran sofa. Merebahkan kepala. Entah bagaimana air mataku terus saja berjatuhan. Aku ingin lekas pulang. Ingin mengadu pada Ibu. Ingin dipeluk Ibu.
Aku tidak melihat cara dia mengobati lututku. Aku hanya bisa merasakan. Awalnya, dia membersihkan lebih dulu darah yang mengalir sampai kaki bagian bawah. Setelahnya, itu yang membuatku hampir menendang pria baik itu. Ketika dia mengompreskan alkohol ke luka robeknya. Itu sangat perih. Kakiku dengan sendirinya melakukan pemberontakan. Melakukan penyerangan. Hampir menerjang dia.
Tangisku makin hebat.
"Periiihhh....," aku merintih.
"Sebentar ya, tahan. Ini lukanya dalam. Makanya berdarah," dia mencoba menjelaskan.
"Sakit banget. Kenapa gak dipingsanin aja?" tanyaku, dan sempat-sempatnya kepikiran untuk bertanya seperti itu.
"Saya gak punya obat bius. Kalau kamu pingsan, nanti saya malah bingung harus melakukan apa," dia menjawab sambil agak menahan tawa.
Tak lama kemudian. Dia kembali duduk di sampingku. Memberikan beberapa helai tisu. Yang kemudian langsung kupakai untuk menyeka air mataku.
"Kamu pulang ke mana?" dia bertanya.
"Ke rumah Ibu," kujawab.
"Rumah Ibu? Maksud saya, pulang ke daerah mana?"
"Sarijadi."
"Pulang pakai apa?"
"Angkot."
"Pulangnya  biar saya antar."
"Gak perlu Pak, ngerepotin."
"Kamu jatuh itu gara-gara saya. Saya harus tanggung jawab. Dan ini sama sekali tidak merepotkan."
"Tapi, gak enak Pak. Aku pulang naik angkot aja, gak apa-apa."
"Kalau gitu, kamu gak saya izinkan pulang."
"Loh, kenapa?"
"Saya gak izinkan kalau kamu gak pulang sama saya. Saya gak mau, orang lain susah karena saya. Atau kamu mau dijemput keluarga, atau pacar misalnya. Untuk pengecualian itu, saya izinkan. Tapi saya harus memastikan kamu benar-benar dijemput."
"Aku pulang sendiri aja Pak."
"Oya, gak usah panggil saya Bapak. Saya belum tua kok. Panggil Lucky aja."
"Tapi gak enak."
"Apa yang gak enak?"
"Manggil nama."
"Ya sudah, terserah mau panggil apa. Tapi gak usah panggil Bapak. Itu terlalu terhormat."
"Terlalu terdengar tua?" kutanya dengan nada bercanda. Dia tersenyum mengiyakan. "Panggil Mas aja?" tanyaku.
Dia sedikit berpikir. "Boleh. Itu artinya saya berharga," katanya.
"Berharga?"
"Semua mas itu berharga. Saya tipe mas 24 karat. Dan lebih dari 60 kilo. Coba kalau dirupiahkan berapa?"
"Hahaha."
"Hehehe."
Akhirnya aku mau diantar pulang oleh Mas Lucky. Ya.... namanya Mas Lucky. Seseorang yang sangat kuhormati hingga saat ini.
Mas Lucky pinjam mobil kantor untuk mengantarku pulang. Dia bilang gak mungkin mengantarku pakai motornya. Karena melihat keadaanku yang mengkhawatirkan.
"Aku mau bawa tas di ruanganku dulu Mas."
"Mau saya antar ke ruanganmu? Atau kita bertemu di lobby saja?"
"Bertemu di lobby aja Mas."
Aku mulai melangkah dengan caraku menyeret kedua kaki.
"Jangan minta digendong ya. Saya gak akan bisa melakukan itu," katanya tiba-tiba.
"Hah?"
"Iya, gak apa-apa kamu jalan sendiri seperti itu? Kalau gak kuat jalan, jangan minta saya gendong. Gak boleh. Paling saya papah aja."
"Oh. Hahaha," aku melihat Mas Lucky tersenyum. "Enggak kok, bisa sendiri," kataku. Mungkin maksudnya dia gak akan berani menggendongku. Karena bukan mukhrim. Hehe.
"Oke. Kita bertemu di lobby ya," kata Mas Lucky sambil memasukan file revisian ke dalam tasnya.
Setelah mengambil tas. Aku langsung bergegas ke lobby. Di ruang tunggu, Mas Lucky sedang berbicara dengan seorang wanita. Cantik. Itu Mbak Receptionis. Dari jauh  aku memandang Mas Lucky. Lebih tepatnya menyelidik.
Mas Lucky itu dari penampilannya sangat rapi dan bersih. Tapi tidak bisa dikatakan maskulin. Mas Lucky itu keren. Badannya proporsional. Gaya berpakaiannya kekinian. Kulitnya putih. Dan menurutku dia tampan. Sangat karismatik sekali. Ditambah dengan wibawanya yang mencerminkan kalau dia itu pria baik yang terhormat. Dari sudut pandangku, aku beri dia nilai 95.
Mas Lucky melihat ke arahku. Melambaikan tangannya sambil berjalan ke arahku yang masih berjalan menyeret kaki. Setelah sebelumnya Ia memberi kode untuk mengakhiri perbincangannya dengan Mbak Receptionis itu.
"Mobilnya sudah siap. Sudah di depan. Kita langsung saja?"
"Iya," kataku.
Kami berjalan berdampingan. Mas Lucky agak memperlambat jalannya. Sebenarnya aku agak risih. Karena orang-orang di lobby semuanya seperti melihat ke arahku. Aku seolah menjadi sebuah tontonan seru bagi mereka. Aku berpikir kalau mereka sedang mentertawai aku. Atau mereka menganggap aku ini manja? Ah, aku bukan wanita seperti itu. Bukan. Aku tidak seperti itu. Aku terus menundukan kepalaku.
"Di ruanganmu masih ada orang?" tanya Mas Lucky akhirnya.
"Udah pada pulang, Mas."
"Kasian kamu jadi ditinggal."
"Gak apa-apa, hehe"
Ketika sudah di dekat mobil. Mas Lucky bergegas membukakan pintu untukku.
"Aku boleh di belakang aja Mas?" tanyaku urung untuk duduk di depan.
"Saya kan bukan sopir taksi. Duduk di depan aja. Lagian pintu belakangnya rusak. Saya gak tau cara bukanya."
Aku tau itu hanya akal-akalan Mas Lucky. Agak sedikit enggan. Akhirnya aku duduk di depan. Di sebelah Mas Lucky yang mengendarai mobil.
Aku hanya gak enak saja sama orang-orang yang memandangiku di lobby. Aku takut mereka berpikiran yang tidak-tidak mengenai diriku.
"Maaf ya mas ngerepotin," kataku ketika mobil sudah meninggalkan pelataran gedung.
"Sudah saya bilang, saya yang merepotkan kamu. Tapi saya gak bisa kasih  kamu maaf."
"Kenapa gak bisa?"
"Maaf saya sudah habis dimintai orang-orang. Saya belum punya stoknya lagi," candanya sambil sekilas melihat ke arahku sambil tersenyum.
"Hahaha."
"Hehehe."
Setelah  mengikuti petunjuk dariku. Akhirnya kami sampai dirumahku. Aku turun. Dan Mas Lucky pun ikut turun. Katanya dia mau bertemu Ibu. Mau sekalian minta maaf juga sudah buat anak gadisnya luka.
Aku mempersilakan Mas Lucky masuk. Bertepatan dengan adzan Magrib berkumandang. Waktu itu Ibu menyambut kami dengan mengenakan mukena. Seperti biasa. Ibu selalu mengambil wudhu sebelum adzan. Katanya biar bisa ngaji dulu.
"Assalamualaikum Bu?" salam Mas Lucky kepada Ibu.
"Walaikum salam, siapa ini Yas?" ibu waktu itu menangkupkan tangannya di depan dada namun sambil memandangku berharap mendapat penjelasan.
"Ini teman kantor Iyas, Bu," kataku.
"Lucky, Bu," Mas Lucky mengenalkan namanya sambil menangkupkan tangannya juga.
"Duduk, nak."
"Terimakasih Bu."
"Yas, ambilkan  minum buat tamu kita," teriak Ibu padaku. Padahal waktu itu aku sedang pergi ke dapur untuk mengambilkan Mas Lucky minum. Dan lekas kembali ke ruang tamu.
"Maaf ya Bu, saya bertamu magrib-magrib. Hanya mau mengantarkan Yesa dan sekalian mau minta maaf sama Ibu."
Aku menyimpan gelas minum di hadapan Mas Lucky. Lalu duduk di sebelah Ibu.
"Minta maaf kenapa?" tanya Ibu bingung.
"Sudah buat anak Ibu luka,"
Kemudian Mas Lucky menjelaskan kejadian lengkapnya. Akhirnya Ibu mengerti.
Ibu memandang lututku. Mengusap pelan kain perban yang ditempelkan Mas Lucky di lututku. Itu cara Ibu untuk menyembuhkan.
Dari sejak kecil. Jika aku terluka. Ibu selalu mengusap lukaku. Membacakan Al-Fatihah untuk kesembuhanku. Dan aku selalu percaya. Setelah itu lukaku akan langsung sembuh. Dan aku kembali tenang. Itulah cara Ibu mengobatiku. Bahkan sampai aku sebesar ini.
Ibu memandang mataku. "Nangis ya?" tanya Ibu sambil merapikan rambutku. Aku mengangguk. "Iyas itu susah nangis. Dia nangis kalau sakit. Sakit yang benar-benar sakit. Sakit yang mengeluarkan darah. Kayaknya Iyas juga terakhir nangis waktu Ayahnya meninggal deh," cerita Ibu pada Mas Lucky.
"Oh, maaf. Ayah Yesa sudah meninggal?" tanya Mas Lucky sedikit kaget.
"Udah lama. Waktu Iyas kelas 3 SMP. Meninggalnya tiba-tiba. Tanpa sakit tanpa tanda apa-apa dan tanpa merepotkan," Ibu menjelaskan tanpa Mas Lucky bertanya kenapa Ayah meninggal.
"Turut merasa kehilangan. Sekali lagi saya mohon maaf Bu sudah buat Yesa luka," Mas Lucky terus meminta maaf dan merasa menyesal.
"Maaf Ibu nanti habis kalau diminta terus sama Mas Lucky," kataku pada Mas Lucky. "Ibu shalat duluan aja, gantian, biar Mas Lucky gak sendiri di sini," kataku pada Ibu.
"Ya sudah, Nak Lucky, ditinggal dulu ya, Ibu mau Magrib dulu." Ibu berdiri dari duduknnnya.
"Shalat bareng aja Bu, berjemaah. Kalau gak keberatan?" Mas Lucky memberi saran yang langsung diamini oleh Ibu.
Ibu tampak senang dan antusias ketika kami shalat berjemaah bersama Mas Lucky. Ibu bahkan meminta Mas Lucky untuk sering datang ke rumah. Biar bisa shalat berjemaah bersama. Karena setelah Ayah meninggal. Ibu yang selalu menjadi Imam untukku shalat.
Usai shalat. Ibu memaksa Mas Lucky untuk jangan pulang dulu. Padahal waktu itu Mas Lucky sudah hendak pamit pulang.
"Ibu mau masak dulu. Untuk kali ini aja. Nak Lucky makan malam di rumah kami. Ibu kan gak tau kapan bisa ketemu lagi Nak Lucky."
Ibu memohon pada Mas Lucky. Saat itu aku merasa terharu sekaligus kasihan pada Ibu. Sebenarnya aku tidak suka melihat Ibu memohon seperti itu. Tapi aku tidak bisa melarang Ibu. Nampaknya dia sedang berbahagia.
Entah mungkin Mas Lucky juga menyadarinya. Menyadari bahwa Ibuku sedang bahagia. Hingga Ia memutuskan untuk mengiyakan ajakan makan malam dari Ibu.
Aku membantu memasak di dapur. Kami hanya memasak seadanya saja. Memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di kulkas.
Untungnya kami masih punya ayam. Ibu biasanya menggodok ayam dengan bumbu olahannya. Setelah itu disimpan di kulkas. Kami akan menggorengnya kalau mau makan. Selebihnya hanya beberapa tumisan dan sambal andalan Ibu.
Mas Lucky juga diam di dapur waktu kami sedang memasak. Padahal aku sudah menyuruh Mas Lucky untuk menunggu di ruang tamu saja. Atau di ruang keluarga sambil nonton TV. Tapi dia bersikukuh untuk diam di dapur sambil sesekali membantu kami memasak.
Ibu banyak bercerita tentang aku kepada Mas Lucky. Kurasa Ibu berlebihan. Itu merupakan sesuatu yang tidak perlu. Tapi kubiarkan saja. Ibu terlihat senang. Aku tidak ingin menghalangi kesenangan Ibu.
Kupikir Mas Lucky akan merasa bosan dengan cerita Ibu mengenai aku. Nyatanya malah Mas Lucky terus meminta Ibu untuk menceritakan aku.
"Serius Yesa seperti itu Bu?" tanya Mas Lucky tertarik waktu Ibu menceritakan aku berkelahi sama teman laki-laki waktu SMP.
"Katanya. Si Anto itu kepergok nendang Ajiz. Ajiz itu emang aneh anaknya. Seperti yang autis, padahal enggak sama sekali. Makanya sering diolok-olok sama yang lain. Nah, Iyas gak terima. Langsung datangi si Anto ke kelasnya. Dihajarlah si Anto sama Iyas. Padahal waktu itu Si Anto kakak kelas Iyas."
"Terus Antonya melawan?" tanya Mas Lucky memandangku.
"Melawan lah," jawab Ibu. Aku hanya senyum saja.
"Terus Iyasnya gimana? Gak kenapa-kenapa?" tanya Mas Lucky lagi kembali memandangku. Kali ini aku menangkap kekhawatiran dari air mukanya. Dan aku sadar, Mas Lucky mulai memanggilku dengan nama Iyas.
"Ya babak belur," jawab Ibu sambil memotong kacang panjang. "Nak Lucky tau? Iyas waktu itu kayak yang kerasukan katanya. Haha. Ngomongnya juga kasar. Ngomong gimana Yas?" tanya Ibu padaku.
Aku tidak berani menjawab Ibu.
"Haha. Iyas gak akan berani ngomong kayak gitu kalau lagi sadar. Gak ada yang ngajarin Iyas buat ngomong kasar."
"Memangnya bicara apa Bu?"
"Haha. Gini," Ibu menyimpan pisaunya. "Jangan sok preman lu anjing. Lu kira gue takut sama lu? Lu kira gak akan ada yang berani sama lu? Gue berani! Berengsek kayak lu musti gue mampusin! Lu mau mampus? Sini gue hajar!" lanjut Ibu sambil teriak-teriak.
Aku malu dan hanya bisa menunduk. Mas Lucky tersenyum melihat ekspresi Ibu.
"Ibu juga diceritain temen-temen Iyas. Waktu Iyas gak masuk karena masih babak belur. Temen-temennya dateng ke rumah buat jenguk. Banyak sekaaliii, Nak Lucky.... Katanya dari kelas 1, 2, 3 ada juga. Mereka pembela Iyas. Kebanyakan yang dateng, mereka yang gak suka sama kesemena-menaan Si Anto yang sok preman di Sekolah. Iyas dikirim makanan sama vitamin sama temen-temennya. Banyak banget. Katanya biar Iyas cepet pulih. Biar bisa membela kebenaran lagi."
"Yesara si pembela kebenaran..." gumam Mas Lucky. Ia hanyut dalam cerita Ibu. "Waktu itu Ayahnya Iyas berarti masih ada ya Bu?"
"Masih ada. Ayahnya waktu itu bawa pistol berdiri di tengah kerumunan temen-temen Iyas. Bilang gini. Bilang sama si Anto! Kalau dia berani nyerang anak gadis saya lagi. Peluru ini bakal tembus ke otaknya! Ke ususnya! Ke matanya! Sambil disambut tepuk tangan sama temen-temen Iyas."
Mas Lucky tersenyum.
"Ayahnya Iyas malah bangga kalau Iyas bisa berkelahi. Apalagi gak takut melawan laki-laki. Katanya biar bisa jagain dan lindungi Ibu kalau Ayahnya sedang ditugaskan ke luar. Dan ya.... Iyas sampai saat ini Ibu rasa dia sudah berhasil melindungi Ibu."
"Memangnya Ayah Iyas kerja apa Bu?"
"TNI."
Begitulah suasana dapur waktu itu. Setelah selesai memasak. Kami makan. Masih diselingi Ibu yang menceritakan kisah hidupku.
Jam 8, Mas Lucky pamit pulang. Ia bilang harus kembali ke kantor lagi untuk mengembalikan mobil dan mengambil motornya.
Aku mengantar Mas Lucky sampai depan. Ibu waktu itu tidak ikut mengantar karena langsung shalat isya.
"Terimakasih untuk jamuan makan malamnya Yas," kata Mas Lucky sebelum masuk ke dalam mobil. Aku mengangguk pelan. "Kenapa jagoan tadi sore menangis ketika melihat lututnya berdarah?" tanya Mas Lucky.
"Aku gak suka darah, Mas. Benci. Takut."
"Benci atau takut?"
"Takut sih, hehe."
"Sekarang masih suka berkelahi?"
"Udah lama enggak. Tapi.... gatel juga sebenarnya Mas, hehe."
"Gatel ingin berkelahi lagi?"
"Iya, hehe"
"Kamu itu perempuan Yas. Kelihatannya anak manis. Saya bahkan gak percaya kalau kamu hobinya berkelahi. Kasian Ibumu pasti khawatir kalau kamu berkelahi."
"Iya."
"Nanti masih mau berkelahi lagi?"
"Kalo memang perlu, kemungkinan bakal, hehe"
"Kan bisa diselesaikan tanpa berkelahi Yas? Lawan kamu kebanyakan laki-laki? Kalau mereka dendam sama kamu? Lapor saya saja kalau ada yang ganggu Yas..."
"Mas Lucky yang bakal hajar?"
"Saya gak bisa berkelahi. Saya gak bakal hajar dia. Nanti biar saya ceramahi. Biar dia tobat."
"Hahaha"
Mas Lucky kemudian pamit. Dan mobil yang ia kendarai mulai menghilang di kelokan kompleks. Aku masuk ke dalam rumah. Kutemui Ibu yang sudah selesai shalat dan sedang melipat mukena di kamarnya.
"Nak Lucky udah pulang?"
"Udah," jawabku sambil memeluk Ibu dari belakang. "Ibu senang ya ketemu Mas Lucky?" tanyaku sambil menempelkan pipiku di pipinya.
"Emangnya kamu gak senang?" tanya Ibu balik.
"Gak tau. Baru ketemu Mas Lucky aja tadi sore. Iyas kan gak tau Mas Lucky itu manusia macam apa."
"Dia santun banget ya Yas? Bahasanya juga baku. Kayak lagi denger Pak Ansori pidato," kata Ibu. Pak Ansori itu Kepala Sekolah di tempat Ibu bekerja. Ibu bekerja di bagian Tata Usaha di salah satu SMA di Bandung.
"Kayak lagi baca novel terjemahan," kataku.
"Kayak lagi dengerin orang meeting," kata Ibu lagi.
Dan begitu seterusnya kami membahas Mas Lucky malam itu. Pertemuan pertamaku dengan Mas Lucky. Dan kejujuran Ibu mengenai perasaan sukanya terhadap Mas Lucky.
Aku merasakan lututku sedikit perih ketika hendak tidur. Dan tiba-tiba saja aku kembali membayangkan kejadian sore harinya bersama Mas Lucky. Bagaimana bisa aku menangis di hadapan laki-laki yang baru aku kenal. Itu kejadian yang sangat memalukan. Tapi aku senang. Senang sekali. Senang bertemu dengan Mas Lucky dengan cara seperti itu. Senang mengobrol dengan Mas Lucky yang penuh perhatian. Aku berharap besoknya bisa bertemu Mas Lucky kembali.
*****






Komentar

  1. Ditunggu kisah yesa selanjutnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe. Aku pikir gak akan ada yang baca. Makasih Mam, udah mampir ke Rumah Wortel....

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer