Aroma Takbir dan Sedap Malam

 Dulu.....

Kau tak pernah menginzinkan aku untuk membantumu. Kau hanya membiarkan aku duduk di sebelahmu. Memperhatikan kau yang begitu teliti memotong tangkai yang kepanjangan. Begitu banyak bunga. Warna-warni. Mewangi.

Kau tak pernah tahu bahwa air liurku selalu hampir menetes tiap kali menyaksikan rutinitas tahunanmu itu. Aku ingin sekali membantumu. Memotong tangkainya. Merapikan dan menyusunnya. 

“Ini buat Pak Aki. Yang ini buat Mah Dede. Ini buat dek Agustin,” begitu katamu setiap tahunnya.

Mereka yang sudah meninggalkanku lebih dulu, mempunyai jatah bunga darimu. Kau selalu menyiapkan dan memisahkan satu ikat untuk masing-masing anggota keluarga yang sudah meninggal. Aku selalu berharap mendapatkan jatah juga darimu.

Kau menghabiskan banyak uang untuk membeli bunga setiap menjelang lebaran. Bahkan kau pernah dalam satu hari sampai dua kali pergi ke pasar. Kau bilang bahwa bunganya kurang dan kepikiran bunga yang sempat kau lihat namun tak kau beli. Padahal jarak dari rumah ke pasar itu sangat jauh. Ditambah keadaan pasar yang menjelang lebaran itu selalu ramai.

Aku khawatir. Kau sudah terlalu tua untuk pergi sendirian ke tempat ramai seperti itu. Namun, siapa berani melarangmu? Nenek cerewet yang masih saja aktif dalam segala hal. Kau kuat. Kau tangguh.

Aku selalu bahagia setiap kali kau datang tergopoh-gopoh memeluk banyak bunga. Dengan bangganya kau memasukan bunga-bunga itu ke dalam ember yang berisi air. Senyummu selalu mengembang. Padahal aku tahu kau sangat lelah saat itu.

Aku yang masih kecil hanya bisa menatap bunga-bunga itu. Takjub. Dan air liurku semakin deras berkumpul di dalam mulut. Kau selalu tahu apa yang kuinginkan. Tapi kau tak pernah membiarkan aku melakukan apa yang kuinginkan itu. Berulang kali kau mengingatkanku. Jangan dipetik! Jangan dipetik! Jangan dipetik!

Kau selalu menyuguhkan sesuatu yang....sepertinya sangat wajib sekali. Seumur hidupku, akan kuabadikan apa yang menjadi kebiasaanmu itu.

Malam takbir. Kumandang Allahuakbar. Ruang tamu yang hangat. Meja yang sudah dipenuhi bertoples-toples kue. Dan aroma bunga yang selalu kau banggakan. Sedap malam.

Satu kesatuan yang memang, sampai kapan pun, menurutku, wajib untuk dipertahankan. Dan momen yang sangat aku tunggu adalah ketika kau memetik beberapa bunga sedap malam yang sudah mekar dan memberikannya padaku.

Aku menerimanya dengan perasaan terharu dan bahagia. Selalu seperti itu. Rasanya malam takbirku sempurna....

Dan saat ini. Kau tahu.... meskipun kau sudah tidak bersamaku. Meskipun kau sudah tak ada di dunia ini. Aku berusaha untuk selalu menghadirkan aroma itu di setiap malam takbir.

Dulu kau yang selalu membeli bunga untuk diberikan pada keluarga tercinta yang sudah lebih dulu pergi. Sekarang, sampai kapan pun, aku akan menggantikanmu. Akan kubawakan bunga untukmu. Meski hanya bisa kusimpan di atas pusaramu.

Semoga wanginya dapat kau cium.

Maafkan aku jika selama ini selalu mencuri dan membawa bunga-bunga yang sudah kau simpan di atas pusara Kakek dan Tante. Kupikir, kau sudah memberikannya pada Kakek dan Tante. Jadi aku boleh memintanya pada mereka. Kau sendiri tak pernah memberiku bunga bertangkai-tangkai. Maaf.

Komentar

Postingan Populer