Aroma Takbir dan Sedap Malam
Kau tak pernah
menginzinkan aku untuk membantumu. Kau hanya membiarkan aku duduk di sebelahmu.
Memperhatikan kau yang begitu teliti memotong tangkai yang kepanjangan. Begitu
banyak bunga. Warna-warni. Mewangi.
Kau tak pernah tahu
bahwa air liurku selalu hampir menetes tiap kali menyaksikan rutinitas tahunanmu
itu. Aku ingin sekali membantumu. Memotong tangkainya. Merapikan dan
menyusunnya.
“Ini buat Pak Aki. Yang
ini buat Mah Dede. Ini buat dek Agustin,” begitu katamu setiap tahunnya.
Mereka yang sudah
meninggalkanku lebih dulu, mempunyai jatah bunga darimu. Kau selalu menyiapkan
dan memisahkan satu ikat untuk masing-masing anggota keluarga yang sudah
meninggal. Aku selalu berharap mendapatkan jatah juga darimu.
Kau menghabiskan banyak
uang untuk membeli bunga setiap menjelang lebaran. Bahkan kau pernah dalam satu
hari sampai dua kali pergi ke pasar. Kau bilang bahwa bunganya kurang dan
kepikiran bunga yang sempat kau lihat namun tak kau beli. Padahal jarak dari rumah
ke pasar itu sangat jauh. Ditambah keadaan pasar yang menjelang lebaran itu
selalu ramai.
Aku khawatir. Kau sudah
terlalu tua untuk pergi sendirian ke tempat ramai seperti itu. Namun, siapa
berani melarangmu? Nenek cerewet yang masih saja aktif dalam segala hal. Kau
kuat. Kau tangguh.
Aku selalu bahagia
setiap kali kau datang tergopoh-gopoh memeluk banyak bunga. Dengan bangganya
kau memasukan bunga-bunga itu ke dalam ember yang berisi air. Senyummu selalu mengembang. Padahal aku tahu kau sangat lelah saat itu.
Aku yang masih kecil
hanya bisa menatap bunga-bunga itu. Takjub. Dan air liurku semakin deras
berkumpul di dalam mulut. Kau selalu tahu apa yang kuinginkan. Tapi kau tak
pernah membiarkan aku melakukan apa yang kuinginkan itu. Berulang kali kau mengingatkanku.
Jangan dipetik! Jangan dipetik! Jangan dipetik!
Kau selalu menyuguhkan
sesuatu yang....sepertinya sangat wajib sekali. Seumur hidupku, akan kuabadikan
apa yang menjadi kebiasaanmu itu.
Malam takbir. Kumandang
Allahuakbar. Ruang tamu yang hangat.
Meja yang sudah dipenuhi bertoples-toples kue. Dan aroma bunga yang selalu kau
banggakan. Sedap malam.
Satu kesatuan yang
memang, sampai kapan pun, menurutku, wajib untuk dipertahankan. Dan momen yang
sangat aku tunggu adalah ketika kau memetik beberapa bunga sedap malam yang
sudah mekar dan memberikannya padaku.
Aku menerimanya dengan
perasaan terharu dan bahagia. Selalu seperti itu. Rasanya malam takbirku
sempurna....
Dan saat ini. Kau
tahu.... meskipun kau sudah tidak bersamaku. Meskipun kau sudah tak ada di
dunia ini. Aku berusaha untuk selalu menghadirkan aroma itu di setiap malam
takbir.
Dulu kau yang selalu
membeli bunga untuk diberikan pada keluarga tercinta yang sudah lebih dulu
pergi. Sekarang, sampai kapan pun, aku akan menggantikanmu. Akan kubawakan
bunga untukmu. Meski hanya bisa kusimpan di atas pusaramu.
Semoga wanginya dapat
kau cium.
Maafkan aku jika selama
ini selalu mencuri dan membawa bunga-bunga yang sudah kau simpan di atas pusara
Kakek dan Tante. Kupikir, kau sudah memberikannya pada Kakek dan Tante. Jadi
aku boleh memintanya pada mereka. Kau sendiri tak pernah memberiku bunga
bertangkai-tangkai. Maaf.
Komentar
Posting Komentar