Lo pernah siap mati buat seseorang?
Lo
pernah siap mati buat seseorang?Lo pernah siap mati buat seseorang? Lo pernah
siap mati buat seseorang? Lo pernah siap mati buat seseorang? Lo pernah siap
mati buat seseorang? Lo pernah siap mati buat seseorang?Lo pernah? Siap mati?
Buat seseorang? Mati? Mati buat seseorang? Buat seseorang?Mati?
Pertanyaan
Bong pada Elektra di novel Supernova: PETIR yang baru saja gue baca terus
berlarian di dalem kepala gue. Sebelum melanjutkan membaca kata berikutnya,
sejenak gue berpikir. Diam sesaat. Mematung. Bagai manekin yang dipajang di
toko-toko busana yang hanya bisa melotot tanpa bisa berkedip dan merem. Bisa
tersenyum tapi bibirnya gak bisa balik normal lagi. Tersenyum meski
ditelanjangi. Terus tersenyum meski tangannya patah. Meski tubuhnya mulai
keropos dan berlubang. Meski yang tersisa hanya kepalanya saja. Atau meski
seluruh tubuhnya yang sudah termutilasi itu telah berada di dalam gerobak
tukang sampah keliling. Dia tetap tersenyum. Diam. Tak bergerak. Sungguh
ironis.
Gue
tertegun sejenak. SANGAT sejenak. Namun cukup untuk merunut kisah hidup si
Manekin itu hingga akhir hanyatnya. Dan cukup untuk memikirkan jawaban dari
pertanyaan Bong terhadap Elektra. Padahal sumpah, Bong itu hanya seorang tokoh
dari buah imajinasi Dee. Dewi Lestari, sang penulis novel Supernova yang ajaib
itu. Dan gak mungkin Bong bakalan tiba-tiba dateng ke hadapan gue buat nanyain “Lo pernah siap mati buat seseorang, Fih?”.
Ok.
Terlepas dari kisah hidup si Manekin yang menyedihkan itu. Gue diam, gak
bergerak, namun otak gue tetap bekerja. Berpikir. Menunggu saraf-saraf berpikir
gue menghantarkan rangsangnya. Kemudian, setelah proses njelimet yang gak
terlalu lama itu, muncullah ide. Ide berupa jawaban dari pertanyaan si Bong
sialan itu.
Gue
dengan tegas meneriaki si Bong.
Gue pernah rela mati buat
seseorang!!!!!
Ya.
Rela mati untuk seseorang. Bukan pernah lagi. Tapi SERING. Gue sering bilang
dalem hati kalau gue rela mati buat seseorang. RELA. Bukan SIAP. Karena memang
pada kenyataannya emang gue belum siap untuk mati sekarang. Saat ini juga. Lain
cerita kalau keadaannya benar-benar mendesak. Sangat mendesak hingga gue harus
mati saat ini juga. Hingga gue harus benar-benar bernegosiasi dengan Malaikat
Izrail. Meminta padanya untuk mencabut nyawa gue aja, jangan nyawa seseorang
itu.
Tapi
apa bisa? Gue tawar menawar dengan Malaikat Izrail? Bahkan kapan, di mana dan
bagaimana gue mati aja semuanya udah di tulis di kitab Lauhul Mahfudz. Sekali
pun gue merelakan nyawa gue, misalnya menolong seseorang yang kepeleset dari
puncak Mahameru. Gue berusaha ikutan lompat buat nangkap dia dan nyelametin
dia. Gue dan orang yang gue tolong itu sama-sama ngegelinding sampe bawah.
Sama-sama terluka. Sama-sama patah kaki. Tulang-tulang remuk. Jantung ketusuk
ranting. Dan luka gue bahkan lebih parah dari dia. Tapi kalau takdir menuliskan
gue belum mati saat itu, ya gue gak akan mati.
Tapi,
tunggu. Gue rasa Bong gak butuh jawaban serumit itu deh. Masalahnya Elektra
cuman jawab “Belum, kayaknya...”
udah, segitu doang jawaban Elektra.
Dan
apa coba tanggapan Bong sama jawaban Elektra? Begini: “Bagus. Lebih bagus jangan...kalau ada apa-apa dengan mereka, kita
bakal merasakan dua kali lipatnya. Mereka bahagia, kita lebih bahagia. Mereka
merana, kita lebih-lebih lagi kayak tahi...”
Well.
Bong Cuma nanya kesiapan gue doang kan? Siap mati buat seseorang? Tapi gue rasa
pertanyaan Bong itu serupa kiasan doang! Kaya basa basi busuk doang. Jadi gak
perlu diambil pusing. Itu kan cuma novel. Fiksi. Cuma fiksi Fih!
Tapi,
sel-sel kecil di otak gue berkata lain. mereka malah bekerja keras buat terus memikirkan
dan merenungkan pertanyaan itu. Mereka mencari-cari jawaban untuk menyesuaikan
apa yang ada di hati, isi kepala sama apa yang gue mau. Mereka terus saja
mencocok-cocokkan. Keluar masuk ruang ganti dengan 1.000 jawaban berbeda. Dan
akhirnya...
Dan
akhirnya gue mendapatkan jawaban terbaik. Jawaban yang gue rasa paling
bijaksana dan cocok buat gue.
Gue siap Bong! Gue siap mati buat
Mama gue! Buat Bapak gue! Buat Adek gue! Gue siap mati buat mereka! Siap! 100%
Siap! Kalau pun musti mati sekarang, gue siap! Gue siap menukar nyawa gue untuk
mereka! Asalkan mereka tetap hidup. Tetap sehat dan bahagia. Gue siap Bong!
SIIIIIIIAAAAPPPPPPPP!
Semoga
jawaban gue tersebut bisa didengar atau terbaca oleh Bong.
Komentar
Posting Komentar