Yang Terlewatkan
Di
dunia ini semuanya berpasangan. Ada siang-malam, kaya-miskin, tua-muda, sehat-sakit,
pria-wanita, hidup-mati. Mati? Siapa yang menginginkan hal itu? bahkan kematian
dianggap oleh hampir seluruh makhluk yang bernyawa sebagai momok yang
menakutkan.
*****
Ketika aku duduk di bangku SMP,
aku berkenalan dengan seorang pria bernama Pras. Usianya lebih tua satu tahun
dariku. Kami bersekolah di tempat yang berbeda. Tak dibutuhkan waktu lama, kami
menyepakati untuk menjalin suatu hubungan yang disebut pacaran.
Kami memang berbeda sekolah. Namun
kami selalu menghabiskan waktu bersama. Ya, selalu bersama. Mulai dari pergi
dan pulang sekolah bersama. Melewati waktu liburan bersama dan bahkan aku tidak
segan untuk berkunjung ke rumahnya, bertemu keluarganya begitu pun sebaliknya. Dua
tahun kami menjalani hubungan yang nyaris tidak pernah pudar. Meksipun usia
kami masih sangat belia, namun cinta kami tak perlu diragukan lagi.
Hingga suatu saat ketika sedang bersama, tiba-tiba Pras muntah darah di hadapanku. Aku kaget bukan main. Tangisku tumpah setelah mengetahui Pras divonis terserang TBC. Mulai saat itu aku berjanji akan selalu menemaninya. Selalu membuatnya tertawa dan bahagia.
Namun semuanya perlahan berubah ketika aku menginjak kelas 2 SMA. Aku harus menerima kenyataan bahwa Pras kini benar-benar telah berbeda. Perhatiannya berkurang, jarang menghubungiku dan jarang menemuiku. Bukan hanya aku saja yang merasakan perubahan yang terjadi pad Pras. Sahabat-sahabatku juga menyadarinya.
“Sari, pacarmu gak pernah kelihatan. Gak pernah antar jemput kamu lagi. Kalian baik-baik saja kan?”
Sementara aku hanya bisa diam dikala diberondongi pertanyaan semacam itu. ingin rasanya aku menjawab hubunganku baik-baik saja. Tapi aku tak mampu menutupi kegelisahan yang mendera hatiku.
Kegelisanhanku memuncak ketika aku melihat Pras sedang berduaan dengan seorang wanita. Aku tak bisa menghakimi Pras atau menuduhnya macam-macam. Karena sama sekali aku belum mendengar penjelasan dari Pras. Mungkin saja wanita itu teman Pras. Ya, aku berusaha untuk tidak berpikir negatif terhadap Pras. Namun hatiku tetap hancur. Ketika berusaha menghubungi Pras. Bukan Pras yang mengangkat telefonku. Tetapi perempuan. Selang dua hari setelah kejadian itu, Pras datang menemuiku, memutuskanku dan membenarkan kecurigaanku. Pras mengakui bahwa dia telah berselingkuh.
Awalnya aku tak bisa menerima kenyataan bahwa kita harus berpisah. Tapi dengan berjalannya waktu, aku pun terbiasa hidup tanpa Pras. Aku merelakan Pras, asalkan dia bahagia. *****
Satu tahun berlalu, aku tetap
menjalani hidupku secara normal. Aku tahu saat ini Pras mengambil kuliah di
Jakarta. Meskipun kami sempat berpapasan, tapi Pras sama sekali tak menyapaku. Begitu
mudahnya ia melupakanku, melupakan semua kenangan tentang kita. Sementara aku,
tetap saja menaruh harapan pada pria itu.
Tiba-tiba Ibu Pras menghubungiku, memberi tahu keadaan Pras. Katanya Pras selalu bercerita tentang aku, tentang rindunya padaku. Pras takut jika aku membencinya karena kesalahannya tempo dulu. Dan kini keadaan Pras sudah semakin parah. Bahkan meludah pun sudah berdarah.
Pras menghubungiku. Dia menanyakan kabarku. Ia mengabariku akan pergi ke Jakarta minggu sore. Dia ingin sekali bertemu denganku dan memintaku untuk mengantarnya ke Stasiun. Dan aku pun mengamini permintaan Pras.
Sore itu aku pergi ke rumah Pras. Aku bertemu dengan Ibunya Pras. Masih seperti dulu. Ia masih ramah dan memperlakukan aku dengan hangat.
“Sari. Ayo masuk, sayang,” ajaknya mempersilahkan. “Sari mau kan bahagiain Pras?” lanjutnya lirih.
“Tapi Sari bisa apa Bu?” tanyaku balik.
“Tolong turuti permintaan Pras ya. Ibu mohon, Sari!”
“Iya Bu, sebisa Sari ya.”
*****
Saat itu di stasiun tak begitu ramai, kami duduk berdua di kursi tunggu.
“Sari, kamu pasti membenciku. Tapi apa selama ini kamu pernah merindukanku?”
“Aku gak membencimu, dan aku juga gak merindukanmu Pras,” jawabku, dan Pras hanya mendunduk.
“Maafkan aku Sari. Maafkan kesalahanku. Maaf, aku telah menyakiti perasaanmu,” katanya.
Pras memutar lagu Naff – Masih Kekasihku. Dia terus meminta maaf padaku. Dan Kereta menuju Jakarta tiba bersamaan dengan berakhirnya lagu yang diputar oleh Pras.
Sebelum Pras pergi, ia memelukku begitu erat.
“Aku rindu kamu Sari. Rindu banget,” bisiknya di telingaku. Lalu Pras mencium keningku dan berlalu memasuki kereta. *****
Satu bulan berlalu, tak ada kabar
tentang Pras. Dan kurasa itu sudah lumrah dalam hidupku. Tapi entah perasaan
apa yang menguasai hati dan pikiranku. Aku benar-benar merindukannya.
Hari ini tepat tanggal 25 Desember 2011. Ibu Pras menghubungiku. Ia mengatakan bahwa Pras telah berpulang ke rumah abadinya. Harusnya aku tak kaget mendengar kenyataan ini. Bahkan aku telah mengetahui kemungkinan yang akan terjadi pada Pras. Tentang kondisi Pras. Tentang masa depannya. Semua telah dijelaskan oleh Dokter waktu itu.
Air mataku tak terbendung lagi. Aku tak bisa membuat Pras bahagia. Bahkan aku tak sempat menyampaikan rinduku padanya. Aku benar-benar terpukul. Meski kita sudah tak bersama lagi, tapi cintaku pada pras masih tersimpan utuh di tempatnya. *****
Tak
ada yang abadi di belahan bumi manapun. Minggu, 25 Desember 2011. Satu roh
meninggalkan jasadnya. Terbang melayang bersama puluhan, ratusan, ribuan atau
mungkin jutaan roh lainnya. Menyatu bersama udara, melintasi lapisan langit dan
siap untuk disidang oleh sang Pencipta. Hidayat Prasmintoro. Semoga Tuhan
memberikan tempat terindah untukmu di Surga.
*****
·
Komentar
Posting Komentar