Las'kar Bit

Mendung menggelayut di langit jam 2 sore. Hembusan angin yang semula semilir berubah menjadi hunusan tajam yang menghujam kulit.
Menggigil. Gusti menghentikan kegiatan mengayuh sepedanya. Debu dari lalu lalang kendaraan membuat Gusti mengerjap-ngerjapkan mata.
Perjalanan ke rumah masih sekitar 15 menit lagi jika ditempuh oleh sepeda kumbang. Sepeda yang kecepatannya tak dapat melebihi kereta listrik ekonomi sekali pun.
Air deras berjatuhan tiba-tiba dari atap bumi. Hujan. Gusti segera memarkirkan sepedanya di depan sebuah toko roti. Ia semakin menggigil. Mengingat peliharaan di perutnya belum diberi makan sejak pagi.
"Gusti?" seseorang dari belakang mengagetkan Gusti. Suara lembut dari seorang wanita yang kini sudah berdiri di sampingnya. "Yaaaahhh ujaaannn......," tangan lentiknya memainkan air hujan yang terjatuh dari genting.
"Hujannya besar banget," Gusti mencoba bicara di tengah kegugupan dan kemenggigilannya.
"Kamu pasti lagi berteduh ya Gus?"
Akhirnya Gusti dapat melihat sorot mata Bidadari itu dari dekat.
"Iya. Kamu juga lagi berteduh ya?" pertanyaan menjiplak akhirnya Gusti layangkan pada Kareen.
"Aku sih habis beli roti. Nih!" Kareen mengangkat kantong kresek yang dipenuhi oleh roti. "Gusti!!!" tiba-tiba Kareen membentak.
Gusti terperanjat.
"Aku benci sama kamu!!!" Kareen menonjok pelan lengan Gusti dan pernyataan Kareen tersebut telah berhasil menohok jantung Gusti hingga ke pangkalnya.
"Kok bisa?" Gusti mulai panik dan semakin gemetar, juga semakin lapar.
"Ya abisnya nilai ulangan Fisika kamu paling gede! Huh! Padahal aku udah belajar mati-matian buat dapet nilai paling gede!"
"Oh......," Gusti merasa lega dan bernyawa kembali. "Tunggu. Harusnya kamu kalau mau dapet nilai besar ya belajar Fisika. Bukan belajar mati-matian. Belajar mati-matian itu kalau mau ulangan perang. Teori mati-matian bakal berguna buat mengelabui musuh."
"Ih Gusti apaan sih! Aku serius malah di bercandain! Kamu makan apa sih bisa pinter kaya gitu?" kini tatapan Kareen semakin tajam.
Gusti memalingkan wajah. Mengingat selama ini tak pernah makan yang aneh-aneh. Atau makan produk yang di kemasannya bertuliskan 'BIKIN PINTAR' .
"Tahu," Gusti tanpa sadar bergumam. Melihat reaksi Kareen yang membuat lipatan ombak di keningnya. Gusti gelagapan. "Saya selalu sarapan sama Tahu dari Mas Joko!" lanjutnya.
"Tahu? Tahu Mas Joko? Kok bisa bikin pinter?"
"Mmmmm. Anu.... Saya sih biar di sekolah konsentrasi tiap paginya harus sarapan sama tahu. Mungkin sugesti aja. Tapi emang tahu Mas Joko bisa bikin otak saya encer sih," ungkap Gusti sedikit ngaco.
"Ah serius! Kalo gitu besok beliin buat aku ya! Nanti aku ganti uangnya. Atau uangnya mau sekarang aja Gus?" Kareen antusias mengeluarkan uang sepuluh ribuan dari saku seragamnya.
"Hah? Enggak usah Kar! Masalahnya Mas Joko lagi pulang dulu ke Tegal. Istrinya melahirkan. Lagian teman saya makan tahunya Mas Joko malah ingusnya yang encer. Itu mah sugesti saya aja mungkin Kar. Habis makan tahu jadi berasa pinter."
Pertemuan di toko roti berakhir dengan datangnya mobil mewah yang menjemput Kareen. Seseorang yang memegang kemudi turun dengan membuka payung terlebih dahulu. "Nenek sihir" begitu menurut pengakuan Kareen ketika wanita berpayung itu mendekat.
"Aku duluan ya Gus!" pamit Kareen yang melangkah mantap.
Gusti mengangguk pelan karena tidak mengharapkan perpisahan ini. Matanya terus saja menatapi punggung Kareen. Namun, wanita judes yang satu kelas dengannya itu berbalik badan.
Gusti tersenyum. Tiba-tiba dirinya tersedot oleh mesin pemindah tempat yang dapat memposisikan seseorang di mana pun, layaknya Jinny. Jin cantik pada Film Jinny oh Jinny.
Dengan kesadaran yang optimal dan nyaris tanpa paksaan. Gusti membayangkan dirinya sedang menjadi seseorang di sebuah FTV drama seri Indonesia. Kareen berbalik badan dan akan berlari ke arah Gusti. Kareen akan merangkul Gusti dan mengatakan bahwa dirinya teramat mencintai Gusti dan tidak akan meninggalkan Gusti. Kareen lebih memilih bersama Gusti ketimbang pergi bersama Ibunya.
Lalu angin kencang pun datang menyambar lamunan Gusti. Menerbangkan semua halusinasi tentang drama FTVnya itu.
"Ini buat kamu Gus!" Kareen tiba-tiba sudah berada di depan lubang hidungnya, menyodorkan satu bungkus roti. "Hujan kaya gini bakal lama. Kamu bakal makin kurus kalo gak cepet ngasi makan cacingmu itu!" Kareen segera berlari ke bawah naungan payung yang dipegang Ibunya.
"Makasi Kar! Makasi banyak!" teriakan Gusti terbawa angin.
****
Sesampainya di rumah. Gusti masih membayangkan senyum simpul Kareen. Ditambah dengan alunan lagu Dewa 19 yang memenuhi ruang di kamarnya yang sempit itu. Gusti merasa dirinya tengah terbang dan hinggap di satu awan ke awan lainnya. Dia membelai lembut gumpalan awan itu. Yang jika dimakan, rasanya seperti ice cream vanila yang sering dibelikan oleh Tante Monic.
Tanpa sadar. Gusti menjatuhkan diri ke atas kasur tipis di atas lantai.
Buuuukkkkk........Krreeekkkkk......
"Aaaawwwww......Tulang gue sakit! Tulang gue patah!" jeritan Gusti berhasil membangunkan tidur cantik Bule.
Ya. Sebut saja Bule. Remaja blasteran yang 3 Tahun lebih tua dari Gusti. Dibuang paksa oleh Ibu kandungnya sejak umur 2 Tahun. Dipungut dan dibesarkan oleh Ibu Rahmi selaku Ibu kandung Gusti.
"Apa? Tiang mana yang patah? Tuh kan, apa kata gue? Musti cepet-cepet dibenerin! Kalo enggak, ini gubuk bakal rubuh!" kumandang Bule di sela-sela mengigaunya.
"Heh. Monyet! Tulang gue yang patah!" Gusti masih meringis.
"Monyet siapa yang patah tulangnya?" Bule berusaha bangun dan mengucek-ngucek matanya. "Wah! Monyet Kang Aip jangan-jangan Gus?"
"Monyeeet di depaaan luuuu yang tulangnyaaaa patah!!!!!!"
Gusti melempar bantal kumal yang mendarat tepat di wajah Bule yang tetap tampan meski dipenuhi iler. Menurut Gusti ini salah satu cara yang paling efektik, cepat dan aman untuk membantu Bule mengumpulkan nyawanya.
****
Cuaca di jam istirahat siang ini begitu gelap dan dingin. Siang? Gelap? Ah,  Gusti lebih suka menyebut keadaan seperti ini adalah waktu subuh.
Gusti masih meringkuk di atas kursi di pojokan kelas ketika Kareen dan temannya datang. Gusti tak terganggu sama sekali oleh cekikikan gadis-gadis labil itu. Dia masih bermimpi tengah didekap oleh Ibunya.
"Jadi seriusan kemaren kamu ujan-ujan berduaan sama Gusti di depan toko roti?" Alfira memulai percakapan.
Kareen duduk di kursinya, merogoh Novel dari dalam tas dan mulai membukanya. "Iya, kalo gak percaya tanya aja sama orangnya."
"Eh, tapi kok aku gak liat Gusti ya di luar sana? Di kantin juga enggak liat?" Fira mulai celingukan.
"Ini kan hari kemis Neng!"
"Iya hari kemis. Terus kenapa?" Fira bingung sendiri.
"Iya kan tu anak rajin banget puasa senen kemisnya, Fir!! Paling juga ngadem di Masjid!"
"Astaga. Aku lupa, Kareen,"  Fira menepuk keningnya pelan.
"Istigfar Fir! Bukan astaga! Kaya bukan muslim aja ah!"
"Iya ya. Astagfirullahaladzim. Tapi seriusan itu romantis banget sekali Kareen! Kalian pasti mandangin ujan yang turun, terus kalian ngobrol-ngobrol cantik gitu. Ya ampuuuunnn Kareen! Kalo aku jadi kamu ya. Aku bakalan banyak nanya semua apa pun tentang dia. Itu kesempatan langka loh Kareen! Kamu tau Gusti kan anaknya sedingin kulkas gitu. Selama aku sama Gusti sekelas aja, belum pernah tuh Gusti nyapa aku! Dia tuh judes! Kaya kamu Kareen!" oceh Fira yang gak sadar kalo Kareen ternyata udah khusuk baca Novel.
"Ah, Kareen mah gitu! Kalo aku ngomong tuh gak pernah didenger! Nyebelin tauk!" Fira mulai manyun.
"Iya. Aku denger kok Fir apa yang kamu omongin! Tapi, masa iya aku musti seheboh itu ketemu Gusti?"
"Tapi kan seenggaknya kamu tanya-tanya tentang dia dong, Kareen! Rumahnya di mana?"
"Gak kefikiran tanya rumahnya sih Fir! Aku cuma tanya, dia makan apa kok bisa sepinter itu! Gitu!"
"Terus, dia jawab apa?"
"Dia selalu sarapan sama Tahu Mas Joko. Gitu katanya. Tapi, ah, kayaknya dia bohong deh Fir! Masa cuman sarapan sama tahu aja bisa bikin pinter!"
"Siapa Mas Joko?"
"Yang jual tahu deket rumahnya kali Fir," Kareen mengangkat kedua bahunya. "Tapi, Fir. Pas aku deketan sama Gusti tuh kok seragamnya kayak bau sabun colek gitu ya? Kecium banget pokoknya! Emang ada ya parfum wangi sabun colek?"
"Kok tau sih itu bau sabun colek? Kamu di rumah masih pake sabun colek ya nyucinya?" Fira mendelik nakal.
"Simbok kadang suka beli sabun colek. Suka ada tuh di tempat cucian. Tapi gak tau deh dia cuciin bajuku pake apa. Yang jelas bajuku gak bau sabun colek pas dipake!"
"Ya gak apa-apa lah Kareen! Orang Naysila Mirdad sama Lidya Kandow aja nyuci bajunya pake sabun colek kok!" seloroh Fira penuh percaya diri.
"Tau dari mana kamu Fir?"
"Itu di TV!"
"Emang dia ikut reality show gitu?"
"Kan ada iklannya, Kareen! Sabun colek Ekonomi gituan kalo gak salah. Itu ya bajunya Lidya Kandow zaman muda, masih bisa dipake sama Naysila pas udah dewasa. Itu karena dicucinya pake sabun colek ekonomi!" Fira menjelaskan penuh antusias.
"Idiiihhh..... korban iklan kamu mah Fir!" cibir Kareen langsung melanjutkan kegiatan membacanya.
Sementara itu. Di alam mimpi. Gusti berlari terseok-seok mengejar Bule yang berada di dalam kendaraan mewah. Bule sudah bertemu dengan Ibu kandungnya. Dan ternyata Bule merupakan anak dari keluarga yang kaya raya.
Mobil mewah itu terus melaju. Si pengemudi seolah tidak peduli terhadap Gusti yang terus saja berlari. Di dalamnya, Bule duduk bersama Ibu kandung dan juga seorang gadis yang wajahnya disamarkan. Gusti terus berlari sekuat tenaga hingga terjatuh.
Buuuukkkkk........
"Aaaawwwww......" Gusti meringis.
Kareen lekas menutup Novelnya. Ia terperanjat dan langsung menoleh ke sumber suara. Begitu pun Fira. Fira secara spontan langsung berdiri dan berlari ke pojokan kelas.
Fira menatap Gusti penuh iba. Sekaligus menahan ledak tawa yang hendak ia muntahkan.
"Gusti. Kamu kenapa? Lagi ngapain di situ?"
Fira mendekati Gusti yang masih dalam kondisi dada telungkup di lantai, namun kaki masih tersangkut pada kursi.
Kareen ikut berlari ke pojokan kelas dan dirinya terperanjat ketika melihat keadaan Gusti.
Dengan spontan Kareen menarik sepatu Gusti. "Gus! Gusti! Kamu baik-baik aja kan? Gus!"
Gusti masih berusaha mengumpulkan nyawanya. Ia berusaha untuk bangun. Dadanya terasa sakit akibat menghantam lantai. Masih duduk di lantai, Gusti memutar badannya hingga bertatapan dengan Kareen dan Fira. Gusti mengusap-usap dadanya.
"Kamu baik-baik aja, Gusti?" tanya Fira berlutut.
"Enggak," Gusti menjawab sangat pelan, namun masih terdengar.
"Kok bisa Gus?" giliran Kareen bertanya heran.
Gusti menggeleng dan masih mengusapi dadanya yang sakit.
"Sakit ya?" Fira semakin mendekat dan berusaha mengecek anggota tubuh Gusti. "Jadi, dari tadi kamu ada di kelas, Gusti? Kamu gak diem-diem dengerin obrolan kita kan, Gusti?" Fira mulai curiga.
"Saya ketiduran!" sedikit malu Gusti menjawab.
Gusti mencoba berdiri dan segera berjalan menuju pintu. Jam istirahat masih 10 menit lagi. Dan kelas itu masih dihuni oleh Gusti, Kareen dan Fira.
"Saya mau cuci muka," ucap Gusti.
Fira yang masih berlutut, dibuat tercengang oleh kelakuan Gusti yang tiba-tiba pergi tanpa menjelaskan apa-apa.
"Kareen, jangan-jangan Gusti denger semuanya?"
"Ya biarin aja. Emang kenapa?"
"Kita kan dari tadi ngomongin dia mulu! Mana kamu bilang baju Gusti bau sabun colek, lagi! Kalo dia marah gimana, Kareen?"
"Ya kan emang kenyataannya gitu Fir!" Kareen melangkah kembali ke kursinya.
Sementara di toilet, Gusti masih kefikiran tentang mimpinya. Tentang perpisahannya bersama Bule. Tentang gadis di samping Bule yang wajahnya disamarkan.
****
Di kamar. Gusti diam-diam mencuri pandang ke arah Bule. Bule tengah mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Gusti.
Seperti biasa. Usai pekerjaan selesai, Gusti selalu mengajari Bule. Gusti menyampaikan kembali apa yang dia pelajari tadi siang di Sekolah. Gusti mengajari Bule layaknya seorang guru profesional.
Gusti dan Bule dititipkan oleh Bu Fatimah pada Tante Monic. Bu Fatimah mencari nasib di kampung halamannya sendiri. Palembang. Sebuah Negara penghasil Pempek terbanyak.
Sementara. Tante Monic, seorang janda yang tidak memiliki anak yang merupakan mantan majikan dari Bu Fatimah. Tante Monic berjanji pada Bu Fatimah akan membiayai sekolah Gusti hingga SMA.
Tante Monic sendiri memiliki sebuah bengkel Las Karbit. Salah satu pegawai kesayangannya ialah Bule. Anak angkat Bu Fatimah yang dinilainya ulet, cekatan dan jujur. Sedangkan Gusti, hanya membantu semampunya setelah pulang sekolah.
Setelah lulus SMP, mereka berdua tinggal di sebuah ruangan sempit di dalam bengkel las karbit milik Tante Monic. Sebuah ruangan yang mereka sebut Cielo en la tierra yang merupakan bahasa Spanyol dari Surga di dunia.
"Kenapa? Lu baru sadar kalo gue ganteng?" goda Bule yang baru menyadari bahwa Gusti tengah memperhatikannya.
"Idih! Amit-amit deh!" Gusti memalingkan wajahnya.
Kembali hening. Bule kembali berkutat dengan soal-soalnya. Gusti kembali menatap Bule.
"Bang!" panggil Gusti pelan.
"Hah?"
"Kalo lu ketemu nyokap kandung lu! Lu bakal ninggalin gue gak?"
Bule menaruh pensilnya. Membenarkan letak duduknya dan memandang Gusti.
"Kenapa lu nanya gitu? Tumben-tumbenan!"
"Ya jawab aja! Apa susahnya? Kalo ternyata nyokap kandung lu tajir melintir gimana? Lu masih mau bertahan bareng gue? Hidup susah?"
"Eh, denger ya! Gue dari kecil udah hidup sama Ibu! Sama lu juga! Gue udah biasa hidup susah! Kalo pun ternyata nyokap kandung gue kaya raya, gue gak akan nikmatin semuanya sendirian Gus! Gue bakal ajak lu sama Ibu!"
"Kalo nyokap lu gak nerima gue sama Ibu?"
"Gue bakal tetep bareng kalian! Gue gak mungkin ninggalin kalian! Kalian keluarga gue satu-satunya! Paham?? Udah gak usah tanya kaya gituan lagi! Gue gak konsen nih!"
Gusti merenungkan apa yang diucapkan Bule. Dalam hatinya ia berdoa. Semoga saja Bule menepati ucapannya dan tidak kesilauan jika memang benar Ibu kandungnya kaya raya.
****
"Pagi Tante Cantik!?" sapa Bule dengan sumringah. "Tumben Minggu pagi dateng Tan?"
"Iya Le! Gusti mana ya?" Tante Monic celingukan.
"Ada kok! Gus!! Gus!! Ada Tante Monic nih!" teriak Bule yang berhasil bikin telinga Tante Monic berdengung.
Tak lama Gusti keluar dengan piring dan spon yang penuh busa di tangannya.
"Kamu lagi cuci piring Gus?" Tante Monic merasa sedikit bersalah karena sudah mengganggu Gusti.
"Iya Tente. Maaf ya. Kenapa? Ada apa? Ada masalah? Apa ada yang mesti saya lakukan?"
"Kamu kok nanyanya banyak banget Gus!?"
"Hehe," Gusti nyengir kuda.
"Calon pengacara Tante si Gusti mah!" celetuk Bule.
Gusti kembali masuk ke dapur dan lekas mencuci tangan.
"Pengangguran banyak acara mah iya kali!" canda Gusti saat keluar.
"Ih. Jangan Gusti! Kamu kan pinter! Sayang kalo nganggur mah! Nanti kamu coba nyari program beasiswa! Minta bantuan aja sama guru. Minta info-info gitu! Ya! Sama ini sekalian uang buat ujian! Maaf ya, Tante telat ngasinya!"
Gusti menerima amplop cokelat yang disodorkan Tante Monic. Hatinya bergetar. Karena inilah yang Ia tunggu-tunggu dari setiap perjumpaannya dengan Tante Monic.
Gusti selalu berharap Tante Monic bisa menepati janjinya. Bahwa Tante Monic akan membiayai Gusti hingga lulus SMA. Dan sebentar lagi ujian kelulusan. Gusti membutuhkan uang dengan jumlah yang lumayan banyak hingga mendapatkan Ijazah.
"Tante. Apa ini gak kebanyakan?" Gusti menimang-nimang uang di dalam amplop yang gak terlihat itu.
"Kamu bakal butuh banyak Gus! Belum buat perpisahan kan biasanya ada piknik! Pokoknya kamu pake sebaik-baiknya ya Gus! Awas aja kalo sampe dipake yang gak bener!" ungkap Tante Monic sambil mengusap-usap bahu Gusti.
"Insya allah Tante. Si Gusti orangnya amanah kok. Dan Ibu gak pernah ngajarin yang gak baik sama kita. Iya kan Gus?" Bule angkat bicara.
****
Bersambung yaaa........

Komentar

Postingan Populer