Bilik Harapan
Semakin jauh, semakin lenyap gubuk itu dari pandanganku. Gubuk tua di tepian
ladang jagung yang berumur puluhan tahun, mungkin bisa dikatakan seusia dengan
umur Abah.Kulaju cepat motor tua peninggalan Abah. Meski berat kutinggalkan gubuk tua
itu, tapi inilah pilihanku. Aku akan semakin tersiksa jika harus menetap di
balik bilik tua itu. Mengandalkan penghasilan dari panen jagung yang tiga bulan
sekali itu. Lalu bagaimana nasib aku dan adik ku, jika harus menunggu tiga
bulan untuk mendapatkan uang.
Aku bertekad untuk pergi ke kota. Mengais pundi-pundi rupiah untuk memenuhi
kebutuhan hidup bersama adik ku. Aku ingat betul apa yang telah terjadi pada
Mak dan Abah satu bulan yang lalu.
“Mak, biar Ahmad saja yang ambil uang jagung itu.”
“Jangan, Biar Mak sama Abah mu saja yang ke pasar. Biar sekalian Mak belikan
seragam baru untuk mu dan Aik.”
“Ahmad tidak perlu seragam baru. Biar Mak istirahat saja di rumah. Nanti
Ahmad belikan seragam untuk Aik.”
“Sudahlah Ahmad, Mak kan ingin sekalian jalan-jalan dengan Abah, mumpung Mak
masih kuat untuk pergi jauh.”
“Tapi Mak harus hati-hati. Di pasar banyak copet dan orang jahat.”
Siang itu Aik angat menanti-nanti kedatangan Mak dan Abah, dia sangat
mengingikan seragam baru. Meskipun aku sangat khawatir dengan Mak dan Abah,
tapi aku juga sangat menanti kedatangan mereka membawa kebahagiaan untuk Aik.
Saat aku berharap-harap Mak dan Abah datang, aku dikejutkan oleh teriakan
Bontang sahabatku.
“Mad, Abah dan Mak mu ada di puskesmas. Kau kesanalah sekarang. Biar aku
tinggal disini menjaga adikmu!”
Tanpa kata-kata, aku langsung berlari menuju puskesmas yang jaraknya cukup
jauh dari rumah.Sesampainya disana, begitu banyak orang berkerumun bersungut-sungut,
segelintir dari mereka hanya mengatakan KASIAN.
Ya allah, itukah Mak dan Abah. Aku sangat ingat baju yang mereka kenakan
saat pergi tadi, baju batik yang satu motif. Astagfirullah, Inalillahi wainaillaihi raziun.
Kusaksikan tubuh orangtua ku tidak bernyawa, berlumuran darah, bahkan tulangnya
remuk, ya Allah tak pernah ku bayangkan, kau mengambil mereka dengan cara
seperti ini. Kalau saja aku yang pergi. Kalau saja aku bisa membujuk Mak untuk
tidak pergi. Mungkin mereka tidak akan menjadi korban tabrak lari. Mereka tidak
akan meninggalkan aku dan Aik.
ooooooooo
“Kenapa tidak kau saja yang terluka!!!!”
Teriak ku pada motor tua yang sedang ku kendarai itu.
“Abang!!”
Tak sadar aku telah membuat motor oleng dan membuat Aik takut. Di kota ini, aku akan memulai hidup baru bersama Aik. Aku berjanji pada Mak
dan Abah akan menyekolahkan Aik hingga SMA. Meskipun aku tidak yakin, apakah
anak ingusan seperti aku bisa menyekolahkan adik ku. Sementara SMA saja, aku
belum lulus. Biarlah sekolah ku ini terputus, tapi jangan sampai Aik juga
ikut-ikutan putus sekolah.
“Abang, jadi kita akan tinggal di rumah ini?”
“Untuk sementara, sebelum kita menemukan rumah kontrakan yang lebih murah
dari ini”
“Abang janji kan mau daftarin Aik sekolah besok?”
“Iya. Abang akan berjuang untuk sekolahmu. Meskipun sekolah SD itu masih
gratis, tapi kan masih ada biaya ini itu.”
“Sekarang Aik jadi tanggung jawab Abang, Aik janji gak akan mengecewakan
Abang.”
“Abang percaya sama Aik, Aik anak pintar, jujur, shaleh, makanya Abang mau
memperjuangkan sekolah Aik.”
Ya memang Aik seperti itu. Dia menjadi kebanggaan Mak dan Abah, begitu juga
aku. Aik selalu menjadi juara, mulai dari kelas satu hingga kelas lima
sekarang. Bahkan dia juga mengharumkan nama sekolahnya dengan menjuarai
beberapa perlombaan. Kini tinggal Aik yang kupunya. Aku harus benar-benar
menjaganya.
Bontang berkunjung ke kontrakanku. Berkat Bontanglah aku mendaptkan rumah
kontrakan ini, dan aku akan ikut Bontang bekerja. Bontang memang Lima tahun
lebih tua dariku, tapi dia selalu menganggap ku sebaya dengannya. Di kota,
Bontang menjadi sopir metromini, dan dia mengajak ku untuk menjadi kernetnya.
Untuk sementara ku terima tawaran Bontang.
Hari pertama aku menjadi kernet metromini. Setelah mendapatkan penjelasan
tarif penumpang, akupun bersemangat berdiri di ambang pintu dan
berteriak-teriak mengajak penumpang untuk naik metrominiku. Aku bangga pada
diriku sendiri, karena aku kini bisa mencari uang sendiri. Meskipun terik
mentari menyengat kulitku, dan tiupan angin mengeringkan mata dan
kerongkonganku, tapi aku berusaha untuk ramah pada penumpangku. Dan kulihat
dari kaca spion, senyum Bontang merekah, menambah semangat untukku.
Seminggu berlalu tanpa masalah. Kunikmati hidup untuk berdiri di muka
metromini sambil berteriak-teriak. Meskipun kurasakan hidup begitu keras dan
rumit, tapi aku akan tetap berjuang demi Aik. Kenapa sudah malam seperti ini Aik belum pulang. Dia juga tidak meninggalkan
memo untukku. Ya Tuhan, kemana Aik. Semenjak aku bekerja, pertemuanku dengan
Aik hanya malam dan subuh saja. Apa Aik marah padaku? Tapi Aik bukan anak
seperti itu, dia tidak mungkin pergi tanpa izin dari ku.
“Assalamualaikum Abang!”
“Waalaikum salam Aik, dari mana saja kau? Membuat Abang khawatir. Kau
baik-baik saja?”
“Maafkan Aik bang.”
“Kau baik-baik saja? Kenapa kau menangis?”
“Tadi dia digodai sama anak-anak berandal yang ada di daerah sini. Saya
lihat dia dikejar-kejar. Lalu saya bawa saja ke rumah, sampai tadi kulihat kamu
pulang.”
“Ya Tuhan, Aik maafkan Abang.”
Aku benar-benar merasa bersalah pada Aik. Aku merasa tidak berguna, tidak
bisa menjaga Aik. Mak dan Abah pasti kecewa padaku. Beruntung ada Ibu Huznul
yang menolong Aik. Kulihat Ibu Huznul sangat baik pada Aik, juga padaku. Ibu
Huznul seorang janda TNI, dia memiliki satu putra yang telah berkeluarga.
Sekarang beliau hidup sendiri, menjadi seorang penjahit yang memiliki beberapa
pegawai.
Ibu Huznul menawarkan sesuatu yang membuatku lega. Beliau menawarkan Aik
untuk belajar menjahit, dan sepulang sekolah Aik akan berada di rumah Ibu
Huznul sampai aku pulang.
Satu minggu setelah kejadian itu, Ibu Huznul memintaku untuk memperbolehkan Aik
tinggal di rumahnya. Beliau sangat memahami kisah hidupku. Bagiku dan Aik,
beliau adalah pengganti Mak, meskipun posisi Mak tidak akan pernah tergantikan.
Hingga pada suatu hari, Ibu Huznul menawariku untuk bekerja bersama putranya
Mas Yusuf. Akhirnya akupun bisa bekerja di Mini Market milik Mas Yusuf. Awalnya
aku mencoba menjadi satpam, tapi Mas Yusuf mempercayaiku untuk bekerja dibagian
kasir.
Tiga bulan sudah aku dan Aik hidup di kota. Ternyata tidak sesulit yang ku
kira. Aku dan Aik selalu mendapatkan kebaikan dan pertolongan dari orang-orang.
Hingga sekarang kami bisa merasakan kebahagiaan seperti ini. Ini saatnya panen
jagung, aku dan Aik harus pulang ke desa. Tidak enak kalau kami tidak menengok
bang Wahid yang kupercayai untuk mengurus ladang dan rumah. Aik sangat bahagia datang ke desa, dia bisa berbagi cerita tentang hidupnya
di kota pada teman-teman yang sudah lama tidak ia jumpai, adiku itu tampak
riang.
Tapi tetap saja ada yang kurang di rumah ini, tidak ada Abah yang selalu
mengajak tetangga main catur di teras rumah. Tidak ada Mak yang selalu duduk di
depan kompor untuk membuat makanan atau sekedar cemilan untuk ku dan Aik
sebagai penyemangat saat kami sedang belajar.
Bilik di rumah ini banyak yang berlubang. Hingga angin senja pun bebas
menelusup, menghampiriku. Jerit kencang jangkrik pun mengalahkan canda Aik yang
sedang bergurau dengan teman-temannya itu. Seketika canda para gadis itu lenyap
ditelan suara lengking jangkrik. Jangkrik pun berhenti menjerit ketika suara
Adzan maghrib berkumandang memecahkan sunyi.
“Abang, kita shalat di mesjid yuk. Sudah lama kita tidak shalat berjamaah di
mesjid.”
“Tunggu dulu sampai Adzannya berhenti. Abang masih ingin merasakan betapa
bahagianya dulu kita hidup di rumah ini.”
“Di balik bilik ini ada sejuta harapan yang Aik sampaikan pada Allah.
Sebagian terwujud dan sebagiannya lagi belum. Aik tau, apapun yang terjadi pada
Aik adalah yang terbaik yang Allah berikan untuk Aik.”
“Kau harus tetap bersyukur. Disini kita menorehkan doa-doa kita, di bilik
harapan ini.”
“Bilik harapan termewah yang ditinggalkan orangtua kita.”.
Perjuangan Ahmad sama kaya perjuangan Kakakku.
BalasHapusIni komentarku tahun 2015, smpe skarang aku masih mengikuti blog ini
HapusMasya Allah.... Makasih loh 2022 masih mau mampir ke Rumah Wortel. Makasih banyak ya, peluk hangat 🤍
Hapus